Jumat, 21 Agustus 2009

Indonesia Dengan Beragam Konflik

Tidak dapat dinafikan bahwa peran pemerintah mengatasi sejumlah konflik horisontal khususnya, terlihat melempem. Bahkan pada sejumlah kasus muncul kesan pembiaran, entah untuk maksud tujuan tertentu atau tidak. Bila kesan pembiaran atau memelihara konflik itu benar adanya, maka sangat wajar bila masyarakat tidak akan pernah merasa aman dan nyaman berada di negaranya sendiri, karena kebutuhan mereka terhadap rasa aman hilang. Akibatnya, masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah mereka.

Tapi satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, bahwa kita tidak mungkin menyerahkan solusi konflik yang terjadi kepada pemerintah atau aparat terkait semata tanpa peran dan keterlibatan masyarakat, atau kita sendiri tidak menginginkan atau tidak memberikan dukungan maksimal agar konflik itu berakhir. Ambil contoh konflik yang terjadi 1 tahun silam antara suku Dani dan Damal versus suku Amungme di Mimika, Papua. Walau upacara bakar batu sebagai tanda perdamaian telah dilakukan, bahkan beberapa kali, perang suku kembali membara mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak sedikit.


Faktor Pendidikan:

Konflik yang terjadi di area pedesaan atau perkampungan secara umum diakibatkan oleh beberapa faktor, dan yang paling fundamental selain faktor karakter dan ekonomi masyarakat adalah faktor pendidikan. Bila kita melihat sejumlah konflik horisontal yang terjadi Madura, Mataram atau beberapa kawasan pedesaan, maka itu biasanya dipicu oleh masalah yang sepele; ketersinggungan, salah paham dan semacamnya, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan hati dan kepala dingin, tanpa harus menyelesaikannya dengan otot.


Penduduk dengan latar pendidikan rendah biasanya akan lebih mudah tersulut emosinya walau dengan sebab sepele, tanpa mempertimbangkan matang dampak dari apa yang mereka lakukan. Bahasa otot lebih dikedepankan daripada bahasa otak. Sehingga dengan kemampuan terbatas seperti itu menjadi wajar bila konflik terus terjadi, karena mereka tidak memiliki bahasa nalar menyelesaikan konflik tersebut secara baik-baik. Bila faktor pendidikan adalah sebab mendasar munculnya konflik di wilayah pedesaan atau perkampungan sebagaimana fakta yang kita saksikan selama ini, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah lebih memperhatikan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat setempat, agar mereka memiliki daya nalar dan kemampuan berfikir yang lebih baik khususnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tengah mereka.


Walau demikian bukan jaminan bahwa pendidikan bisa menjamin tidak munculnya konflik horisontal. Karena kita juga melihat bahwa sejumlah komunitas yang berasal dari dunia pendidikan terkadang larut dalam konflik hanya karena persoalan remeh temeh yang usaha penyelesaiannya dilakukan dengan bahasa otot. Sama persis dengan bahasa penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat perkampungan. Inilah fakta yang kita temukan di kalangan mahasiswa yang kerap tawuran hingga membuat kita bingung; mengapa komunitas mahasiswa masih juga mengedepankan bahasa otot daripada bahasa otak dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah mereka, lebih mementingkan loyalitas sebagai sebuah entitas daripada rasionalitas dan moralitas sebagai kaum terpelajar.


Bila kita mengenal adanya tawuran antar mahasiswa yang mewakili lini akademisi, maka kita juga mengenal tawuran antara pendukung sepakbola, pendukung partai, pendukung calon gubernur, bupati dan semacamnya, yang apabila jagonya kalah, maka konflik antara kedua kelompok yang berseteru terkadang tidak bisa dielakkan. Namun mereka yang terlibat dalam konflik di atas secara umum berasal dari kalangan masyarakat berpendidikan rendah; lebih mengedepankan emosi dan loyalitas buta daripada nalar. Maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah, agar setiap klub sepakbola atau partai politik di Indonesia dapat mencerahkan fans (khususnya para Bobotoh dan Bonek) dan para pendukungnya yang mayoritas berasal dari kalangan grass root. Proses pencerahan dan pendidikan politik yang mereka peroleh akan mendewasakan mereka dalam berfikir dan bersikap saat menghadapi situasi yang mengecewakan.


Peran Agama dan Kebangsaan sebagai Perekat

Perbedaan budaya dan tradisi suatu wilayah dengan wilayah yang lain juga akan menghasilkan karakter yang berbeda. Inilah salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku dengan segala perbedaan yang ada padanya. Namun kemajemukan ini pada satu sisi menjadi ancaman munculnya konflik horisontal bila tidak dikelola dengan baik. Salah satu contoh paling dramatis bagaimana perbedaan ini menjadi faktor dominan meletusnya konflik memilukan antara etnis Madura sebagai pendatang versus etnis dayak di Kalimantan. Terlepas dari siapa salah siapa benar atas meletusnya konflik ini, kedua etnis yang saling bersengketa, khususnya tokoh ulama dan aparat pemerintah harus menjadikannya sebagai pelajaran berharga agar tidak lagi terjadi di masa-masa yang akan datang. Karena peristiwa ini tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa secara sia-sia, tapi juga meninggalkan penyakit psikis, dendam dan trauma berkepanjangan.


Bila kita menganalisa kasus di atas, maka ada elemen mendasar yang tidak berperan dengan baik di tengah masyarakat, yaitu peran agama yang seharusnya muncul sebagai perekat khususnya bagi komunitas yang berada dalam satu agama dan keyakinan. Disinilah sesungguhnya kita butuhkan peran penting para pemuka agama agar dapat mencerahkan para pengikutnya untuk lebih mengedepankan nilai-nilai kebaikan yang terdapat dalam agama yang mereka anut, persaudaraan sebagai sesama anak bangsa, disertai dengan upaya menghidupkan komunikasi dan dialog untuk menemukan jalan terbaik dari sebuah masalah yang terjadi di antara para pemeluk beragama. Sehingga kasus yang bernuansa sara dapat diredam sebelum meletup kepermukaan, sebagaimana kasus Ambon dan Poso disinyalir kuat terjadi sebab faktor tersebut.


Ancaman Separatisme

Virus gerakan separatisme yang merebak di beberapa wilayah tanah air khususnya di Timur Indonesia pasca GAM, adalah salah satu konflik vertikal yang merupakan ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa sebab munculnya virus ini adalah kesenjangan ekonomi, distribusi kekayaan alam yang tidak berdiri di atas prinsip keadilan, atau karena faktor ideologi. Eksistensi Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Republik Maluku Selatan (RMS) dengan berbagai aksi tak terduga yang kerap mereka lakukan khususnya pada hari peringatan kemerdekaan mereka, adalah bukti bahwa pemerintah belum mampu mengatasi merebaknya gerakan tersebut dengan berbagai cara yang dilakukannya selama ini.


Bila benar bahwa sebab-sebab di atas adalah pemicu tetap eksisnya gerakan separatisme di beberapa wilayah, maka pemerintah harus segera menciptakan iklim dan suasana yang lebih kondusif melalui pemerataan kesejahteraan, keadilan hukum, dan pelibatan tokoh-tokoh agama, apalagi bila masalah tersebut disebabkan oleh faktor ideologi. Apabila pemerintah telah melakukan cara-cara yang santun dan damai namun tidak juga menuai hasil, maka cara keras dan tegas sudah harus dilakukan.


Kembali ingin saya ulangi, bahwa Mengatasi berbagai konflik diatas tentu tidak hanya bisa diperankan oleh institusi atau lembaga pemerintah semata. Perlu dukungan dan keterlibatan masyarakat secara luas agar tercipta rasa aman di setiap jengkal tanah air indonesia.

3 Kelemahan Mendasar Partai Islam

Ditengah perolehan suara yang menurun drastis pada Pemilu 2009 lalu, bahkan di antaranya tidak mencapai ambang batas 2,5% dan akhirnya menjadi bagian dari catatan sejarah multi partai di Indonesia, sejumlah Parpol Islam kini mengalami kegamangan atas peluang eksistensi mereka hingga pemilu 2014 nanti. Beberapa kalangan bahkan menilai, bahwa Parpol Islam –Ideologi atau basis massa Islam- yang saat ini masih bertahan dan berada di level menengah (PPP, PKB, PKS, dan PAN) akan semakin melemah, stag dan kemungkinan runtuh bila tidak segera melakukan pembenahan dan konsolidasi internal.

Sementara pada saat yang sama, sejumlah partai nasionalis semakin berkibar. Demokrat dengan figur SBY yang kian mendapatkan tempat di hati masyarakat, Golkar yang kini berusaha menampilkan kaum muda pada jajaran elit dengan mendukung langkah Yudi Krisnandi maju sebagai calon ketua umum, atau PDIP yang kemungkinan masih akan berada di luar ring kekuasaan, atau sebagai partai oposisi agar tetap lekat sebagai pembela Wong Cilik. Sementara Hanura dan Gerindra kemungkinan besar takkan bertahan lama hingga pemilu nanti. Kecuali bila figur Prabowo dan Wiranto semakin mengakar disertai limpahan dana besar.


Bila partai-partai nasionalis tetap tenang melenggang dan terlihat cukup mampu menetralisir sejumlah konflik internal yang muncul di permukaan, maka kisruh yang terjadi dalam tubuh sejumlah partai Islam hingga kini belum juga terselesaikan. Lihat saja konflik panas antara Gusdur dan Muhaimin Iskandar yang nota bene adalah keluarga besar. Antara Bachtiar Chamsah dan Suryadarma Ali yang masing-masing memiliki gerbong besar di PPP. Atau antara Amin Rais dan Soetrisno Bachir di PAN yang juga memiliki pengikut fanatik.


Bagaimana dengan PKS? Memang pernah ditengarai oleh sejumlah media adanya dua kubu yang terkesan saling bertolak belakang khususnya sebelum pilpres digelar, yaitu kubu Presiden partai, Tifatul Sembiring dan kubu Sekjen, Anis Matta. Namun selanjutnya perseteruan kedua kubu seakan telah padam dan tak terdengar lagi adanya kisruh yang kian meruncing hingga saat ini.


Adapun 3 kelemahan yang secara umum terdapat dalam tubuh Parpol Islam adalah:

Pertama: Tidak memiliki figur yang kuat.

Ketiadaan figur dan tokoh yang dapat dijadikan sebagai teladan, referensi dan perekat seluruh elemen yang terdapat dalam tubuh partai adalah kelemahan mendasar pertama . Elit Parpol Islam mungkin perlu belajar dari Demokrat dan PDIP yang masing-masing memiliki figure sangat kuat yang terkadang menjelma sebagai sistim. Namun kekuatan tersebut sekaligus menjadi titik paling rawan bagi kedua partai ini. Sementara Golkar, walau tak memiliki figur semacam Megawati dan SBY, namun di dalamnya terdapat banyak tokoh sentral yang tampak dapat saling bekerjasama.


Bagaimana dengan PKB yang pernah memiliki Gusdur dan PAN yang membesar karena figur sang tokoh reformasi, Amin Rais? Sepeniggal mereka tak muncul tokoh yang dapat menyamai reputasinya. Sementara di PPP, tak ada tokoh dan figur menonjol disana setelah ditinggalkan oleh Hamzah Haz.


Kedua: Mesin Politik yang tidak Mumpuni.

Sistim kaderisasi mutlak diperlukan untuk menciptakan kader-kader militan yang memiliki afiliasi kuat terhadap partai. Rela berjuang, bekerja dan berkorban untuk membesarkan partai dimana ia berada. Yang mungkin agak sulit dilakukan adalah, menciptakan formula yang cocok dan tepat agar sistim itu bekerja sesuai rencana dan target yang diinginkan. Bila sistim kaderisasi tidak berjalan baik, maka jangan terlalu berharap lahir kader-kader militan yang sanggup bekerja tanpa pamrih. Mereka bahkan mungkin akan loncat pagar laksana bajing untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik sebagaimana terjadi pada sejumlah kader partai.


Ketiga: Rendahnya kepedulian terhadap rakyat.

Apa yang paling diharapkan oleh masyarakat setelah mereka merasa telah menyalurkan aspirasi dan dukungannya kepada partai yang mereka anggap tepat dan mampu memenuhi harapan-harapan mereka? Sebenarnya tidak terlalu banyak yang mereka inginkan, kecuali bahwa partai pilihan mereka itu terlihat care terhadap masalah-masalah social, turun membantu rakyat miskin melalui bakti social (Baksos), atau usaha-usaha yang lebih riil sebagai wujud kepedulian terhadap mereka.


Tiga kelemahan inilah yang secara umum terdapat dalam tubuh partai Islam, yang semoga saja menjadi renungan bagi para elit partainya agar segera melakukan konsolidasi dan pembenahan internal agar tetap eksis. Karena umat tentu masih sangat merindukan partai Islam tetap eksis dan menjadi wadah aspirasi yang tepat bagi mereka. Wallahu a’lam.

Siapa Mau Patenkan “Ha ha ha” nya Mbah Surip?

Bila gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati tinggalkan nama. Namun agak berbeda dengan apa ditinggalkan oleh Mbah Surip yang berpulang pada hari Selasa, 4 Agustus 2009 lalu. Ia tidak hanya meninggalkan popularitas, warisan kekayaan yang sekarang mungkin jadi rebutan, serta royalty dari lagu ciptaannya yang justru kian laris sejak kematiannya. Tapi juga gitar serta aksesoris yang selama ini melekat pada tubuhnya: topi yang menutupi rambut gimbalnya dan tentu saja tawa renyah yang jadi ciri khasnya: ha ha ha…. Ingat! Tawa Mbah Surip bila ditulis adalah: ha ha ha. Bukan hi hi hi, atau ho ho ho, he he he, qi qi qi dan lainnya. Dan bunyinya pun sama demikian.


Bila berbicara tentang masalah hak paten, maka kita memiliki banyak pelajaran pahit tentang hal ini. Simaklah beberapa karya anak negeri ini yang telah ada sejak sekian tahun yang silam, namun akhirnya dipatenkan oleh warga Negara lain agar kelak mendapatkan keuntungan dari hak paten tersebut. Sebut saja tempe yang menjadi makanan khas rakyat Indonesia, ternyata hak petennya bukan di negeri ini. Atau sejumlah lagu daerah atau budaya reog ciptaan putra Indonesia sudah diklaim sebagai milik Malaysia, dan kemungkinan besar akan mereka patenkan.


Hak paten tidak hanya berlaku untuk sebuah produk, nama, hasil karya dan lainnya. Bahkan ada juga yang mempatenkan sebuah ucapan agar tidak ditiru dan dengan mudah diucapkan oleh seseorang, karena ucapan itu bernilai komersial. Inilah yang dilakukan oleh seorang Peggy Melati Sukma yang mempatenkan kata bingung, yang bila diucapkan menjadi: binguuuuuuuung.


Sejak kematian Mbah Surip Selasa lalu, tulisan tentang beliau terus saja bermunculan dari kalangan blogger kompasiana, dan secara umum mendapatkan respon sangat baik dari para pembaca. Apalagi sejumlah tulisan tersebut dilengkapi dengan embel-embel tawa renyah sang tokoh: “ha ha ha”. Sekali lagi, “ha ha ha”. Bukan “he he he”, “hi hi hi” dan lainnya.


Mengapa tawa Mbah Surip ini menjadi magnet dan daya pikat tersendiri bagi para penggemarnya? Mungkin sejumlah alasan berikut ini bisa mewakili:


Pertama: Tawa Mbah Surip merepresentasikan kebahagiaan, kegembiraan dan kenyataan hidup tanpa beban.


Kedua: Tawa Mbah Surip memancarkan energi, keakraban dan keramahtamahan.


Ketiga: Tawa Mbah Surip akan selalu membuat Anda tertarik dan tersenyum sendiri. Terbukti bahwa beberapa tulisan tentang Mbah Surip di Blog ini yang disertai dengan “ha ha ha”, dikunjungi pembaca dalam jumlah besar. Artinya bahwa, tawa Mbah Surip pun memiliki nilai seni dan daya tarik yang bisa mendatangkan keuntungan. Selain kalimat, ”I luv you pull”, atau “enak tho, mantap tho” yang juga menjadi ciri khas Mbah Surip.


Ring pertama (Silahkan baca tulisan “Mbah Surip; Kebahagiaan yang Terenggut”) yang mungkin paling berhak mempatenkan tawa Mbah Surip tentu saja adalah pihak keluarga. Bila mereka enggan, maka ring kedua, bisa kawan dekat atau mantan manajer dan sponsornya.


Nah, bila mereka juga tak tertarik, maka Siapa Mau Patenkan “ha ha ha” nya Mbah Surip? Enak tho, mantap tho, ha ha ha….

Mbah Surip dan WS.Rendra: Bukan Sekedar Seniman


Selalu ada pelajaran berharga yang ditinggalkan orang-orang besar setelah mereka pergi meninggalkan dunia fana ini menuju haribaan Tuhannya. Dan kita yang mengenal sang tokoh, atau pernah bersentuhan langsung dengan karya besar yang dilahirkannya akan merasakan adanya ruang kosong yang ia tinggalkan, dan seakan sulit menemukan kembali sosok pengganti yang dapat menutupi ruang kosong itu. Atau terkadang kita baru tersadar setelah kepergiannya, bahwa betapa sangat penting dan berharganya ia, namun kita terlambat menyadarinya. Sebagaimana tulisan Bung Judhiyudono tentang Rendra di Blog Kompasiana ini.

Mungkin ada yang bertanya, apakah layak nama Mbah Surip disandingkan dengan kebesaran nama WS. Rendra yang sudah lebih dahulu dikenal di seantero negeri sebagai sastrawan yang tetap konsisten membela rakyat kecil, menggugat ketidakadilan, mengangkat masalah social, berkisah tentang cinta, harapan, cita-cita dan berbagai hal melalui bait-bait syair yang menggugah jiwa? Hemat saya, kita tidak usah berpolemik tentang masalah tersebut. Setidaknya bahwa, nama Mbah Surip juga dapat dimasukkan dalam lembar catatan sejarah perjalanan bangsa ini sebagai seniman yang tetap konsisten dengan peran dan profesinya, walau rentang masa sulit penuh duka jauh lebih lama ia nikmati ketimbang popularitas dan kekayaan yang hanya seumur jagung.

Lalu pelajaran apakah yang dapat kita petik dari mereka berdua baik sebagai pribadi maupun melalui karya seni yang dihasilkannya?

Pertama: Konsistensi dan semangat untuk terus berkarya dan berkreasi adalah pelajaran penting pertama yang dapat dipetik dari kedua tokoh kita ini. Saya sendiri tidak pernah mendengar bahwa WS. Rendra coba berpindah ke jalur musik atau film saat popularitas menjamahnya. Atau karena apa yang ia peroleh sebagai seniman sastra tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari apalagi dengan 3 orang istri.

Demikian pula yang kita ketahui tentang Mbah Surip, yang sebagian besar dari perjalanan hidupnya sebagai seniman jalanan sarat dengan keterbatasan, hidup nelangsa, bahkan terkadang tidak memiliki sepeser uang pun walau hanya untuk membayar ongkos tukang ojek. Tapi justru dalam kehidupan serba sulit seperti itu ia tidak menyerah dan putus asa, atau coba beralih ke jalur sastra. Lagu lama yang ia ciptakan terus saja ia senandungkan dari panggung ke panggung disertai tawanya yang khas; ha ha ha…, dan momentum itu kemudian datang menghampirinya, melontarkannya ke atas singgasana popularitas dan kekayaan dalam angka milyaran rupiah. Enak tho, mantap tho…

Kedua: Jalur seni yang dipilih oleh kedua tokoh kita ini tidak bersentuhan dengan eksploitasi aurat, atau menabur racun syahwat di kepala para penggemarnya. Seabagaimana yang dilakukan banyak pelaku seni di negeri ini, yang dengan alasan seni dan kebebasan berekspresi rela menjajakan tubuh dan aksesori miliknya yang paling pribadi sekalipun hanya untuk memuaskan dahaganya terhadap materi.

Saya terkadang heran dan takjub terhadap para pelaku seni yang tidak pernah sadar bahwa apa yang ia jual sebagai jasa itu akan tetap dinikmati oleh banyak orang, disaksikan puluhan mata, dan dilihat dari satu generasi ke generasi berikutnya, walau ia telah tiada. Bila yang ia hasilkan adalah keburukan dan ajakan kepada kemaksiatan, maka dosanya akan selalu jaariyah (mengalir) walau ia telah tiada. Maka waspadalah! Waspadalah!

Ketiga: Kesabaran menghadapi berbagai resiko dan konsekwensi atas pilihan yang diambil adalah pelajaran ketiga dan terakhir dari kedua tokoh kita ini.

Banyak hal pahit, getir dan tidak menyenangkan dialami oleh kedua tokoh kita ini sepanjang perjalanan mereka sebagai seniman. Namun pada saat yang sama mereka tetap memiliki kemampuan mengatasi berbagai resiko itu. WS. Rendra: pernah ditangkap dan ditahan dimasa Orde Baru. Mbah Surip: hidup serba terbatas, tidak punya uang, dikendalikan dan ‘diikat’ (saat laris show dan pentas dimana-mana) de el el. Itulah sejumlah resiko yang harus diterima sebagai konsekwensi dari sebuah pilihan hidup.

Tentu masih banyak pelajaran lain yang dapat kita temukan dari kedua tokoh seni kita ini. Pelajaran yang seharusnya membuat kita lebih sabar, konsisten dan memberi manfaat serta energi positif bagi orang lain apapun profesi yang kita geluti.

Mbah Surip dan WS. Rendra, memang bukan sekedar seniman!

Kamis, 20 Agustus 2009

Mbah Surip; Kebahagiaan yang Terenggut

Kepergiaan Mbah Surip yang begitu cepat dan tak terduga, tidak hanya menimbulkan kegemparan, tapi juga kesedihan mendalam yang dirasakan oleh keluarga, kawan dan orang dekatnya, serta para penggemarnya yang telah mengunduh lagu ciptaannya yang populer “Tak Gendong” sebagai nada sambung (RBT). Presiden SBY bahkan secara pribadi menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepergian Mbah Surip, walau –mungkin- pa SBY belum sekalipun bertemu dengannya. Dan inilah yang disesalkan banyak kalangan, karena pada waktu yang nyaris bersamaan terdapat dua musibah yang juga menelan korban meninggal dunia; tabrakan kereta api dan jatuhnya pesawat Merpati

Apa gerangan yang membuat banyak kalangan sedih dan berduka atas kepergian Mbah Surip, dan mungkin juga termasuk Anda? Itu karena kepergian si Mbah sekaligus merenggut kebahagiaan yang mereka rasakan selama ini melalui karya dan lagu-lagu ciptaannya.


Mari kita tengok, betapa banyak orang yang merasa senang, gembira dan bahagia ketika lagu lama ciptaan Mbah Surip akhirnya laris manis dan berhasil meraup milyaran rupiah hanya dari royalty nada sambung saja? Dan mereka yang merepresentasikan kegembiraan dan kebahagiaannya dengan senandung “tak gendong…kemana-mana…”. Setidaknya ada empat kelompok -dan bisa ditambah- manusia yang paling berduka dengan kepergian Mbah Surip.


Ring satu, mereka adalah keluarga Mbah Surip yang selama ini mungkin hidup pas-pasan kemudian mendapatkan cipratan financial yang akhirnya mengubah situasi dan kondisi kehidupan mereka menjadi lebih baik.


Ring kedua, adalah perusahaan yang memasarkan ring tone lagu Mbah Surip, serta manajer dan sponsor yang selama ini mengatur jadwal show si Mbah yang seakan tak ada habisnya. Sehingga mereka rela membeli rumah dan kendaraan roda empat buat si Mbah sebagai bagian dari kontrak 3 tahun. Sebagai harapan bahwa Mbah Surip masih akan laris manis dan jadi lumbung uang untuk beberapa tahun kedepan.


Ring ketiga, adalah kawan-kawan Mbah Surip dari kalangan seniman yang kemudian mendapatkan energi baru untuk terus berkarya setelah lagu si Mbah akhirnya diterima masyarakat luas, atau kawan dekat yang juga mendapatkan cipratan dana kesetiakawanan sosial dari si Mbah.


Ring keempat, adalah para penikmat musik, cara ketawa, busana, rambut gimbal, kepribadian dan style Mbah Surip yang apa adanya. Mereka ini pun turut berduka atas kepergian si Mbah yang begitu tiba-tiba. Mereka tentu masih berharap si Mbah masih akan melahirkan karya-karya ajaib dan penampilan-penampilan berkesan lainnya.Tapi bila kita jeli melihat, bahwa ternyata kebahagiaan Mbah Surip juga seakan terenggut saat namanya mulai menjulang dan kemudian ditanggap untuk tampil dimana-mana. Kebiasaan ngumpul dengan kawan lama, ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati secangkir kopi dan rokok kretek kesukaannya, menjalani hidup apa adanya, tiba-tiba saja tak bisa lagi dilakoninya. Semuanya serba diatur dan dikendalikan, bahkan terkesan dieksploitasi walau dibantah oleh pihak manajemen. Padahal setiap kita tahu bahwa seperti itulah dunia artis, apalagi yang mampu menjadi magnet dan mesin uang bagi banyak orang.


Dan seperti itu penggalan terakhir dari episode kehidupan Mbah Surip. Hingga kesehatannya yang semakin menurun dan fisik yang kian renta tak mampu lagi menyanggah keinginannya –atau keinginan orang-orang sekelilingnya-, dan akhirnya jatuh menyerah dihadapan takdir Alla Yang Maha Kuasa. Ia pergi membawa harapan dan keinginannya menyaksikan seorang putrinya duduk bersanding di pelaminan.

Eksistensi Parpol Islam (3)

Peduli Kepada Rakyat

Ketika rakyat memberikan simpati dan dukungan mereka kepada sebuah Partai Politik, maka tak ada lain yang mereka harapkan selain agar partai tersebut mampu menjadi wadah dan saluran aspirasi guna mewujudkan kesejahteraan yang mereka dambakan. Walau pada kenyatannya hal tersebut tidak mudah terealisasi di alam nyata. Sementara pada sisi lain masyarakat kerap tidak tahu, atau tidak mau tahu bahwa ada banyak faktor yang saling terkait guna menghadirkan kesejahteraan dan keadilan di tengah mereka.


Namun ada satu hal yang harus tetap dilakukan oleh setiap Parpol Islam yang masih ingin mempertahankan eksistensi dirinya di tengah umat dan kaum Muslimin yang menjadi konstituen terbesar mereka selama ini. Yaitu, memberikan pelayanan umum, bakti sosial atau berbagai kegiatan yang menampakkan adanya kepedulian terhadap apa yang selama ini dibutuhkan oleh masyarakat. Tanpa peduli ucapan dan komentar segelintir orang yang mungkin akan mengatakan bahwa apa yang dilakukan partai tersebut adalah riya, ingin dipuji dan berbagai ucapan sinis lainnya. Karena kalau tidak berbuat, maka tetap ada yang akan berkata, “Pada kemana nih partai si A, si B yang katanya memiliki perhatian dan kepedulian..” dll


Sepintas memang sederhana. Tapi tidak banyak partai yang mampu melakukannya secara konsisten dan merata diberbagai tempat. Dibutuhkan pengorbanan dan militansi kader, dana dan koordinasi yang baik agar berbagai kegiatan tersebut menjadi tepat sasaran. Tak dipungkiri bahwa inilah salah satu kekuatan PKS hingga membuatnya diterima dan dicintai masyarakat luas; kepedulian terhadap rakyat dan dilakukan tanpa pamrih. Lalu dari mana para kader PKS memiliki kepedulian dan pengorbanan sedemikian itu? Jawabannya sederhana saja. Karena mereka yakin bahwa melakukan kegiatan seperti itu adalah bagian dari amal shalih, dan mereka ingin jadi manusia terbaik sesuai uswah Hasanah mereka, Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.


Membangun armada sosial dalam tubuh Partai Islam mutlak dilakukan. Tentu bukan dengan niat utama agar mendapatkan simpati atau dukungan masyarakat. Apalagi dilakukan saat hanya menjelang Pemilu. Tapi ini adalah salah satu cara menciptakan kepedulian sosial dalam diri elit partai tersebut dan para kadernya, sekaligus sebagai media belajar konstituen agar peduli kepada sesama.


Apakah PKS merasa terancam bila seluruh parpol yang ada di negeri ini melakukan kegiatan sosial mengikuti sukses pelayanan ala PKS? Tidak sama sekali. Bahkan yang ada kebahagiaan. Karena aktivitas sosial dan kebajikan ini akan semakin meluas di tengah masyarakat yang membutuhkan bantuan dan pelayanan, kalau tidak dari pemerintah, toh ada partai politik tempat mereka menitipkan asa dan harapan.

Eksistensi Parpol Islam (2)

Pada bagian pertama dari rencana tiga tulisan tentang Eksistensi Parpol Islam, saya telah membahas tentang urgensi kehadiran seorang tokoh nasional pada sebuah Partai Islam, yang dibesarkan oleh partai tersebut dan dapat diterima dengan baik di tengah masyarkat karena sisi kenegarawanan yang ia miliki, peran serta kontribusinya bagi umat secara luas. Pada tulisan kedua ini, pilar penting yang juga mesti dimiliki oleh Partai Islam adalah:

Membangun Soliditas Internal.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sebagian besar partai pada pemilu lalu, termasuk di dalamnya Partai Islam, melakukan rekrutemen massif di kalangan publik figur, artis atau tokoh terkenal, yang dengan nama yang disandangnya diharapkan mampu memperkuat basis partai, sekaligus sebagai magnet yang mampu menarik massa dalam jumlah besar. Buktinya, ada yang berhasil dan ada pula yang tidak. Sebuah pertanyaan besar akhirnya muncul, “Apakah rekrutmen kader bari kalangan publik figur, artis atau tokoh nasional sekalipun, mampu mempertahankan eksistensi partai tersebut untuk jangka waktu yang lama? Ataukah para publik itu tetap eksis dan menanggung untung, sementara partai Islam yang merekrutnya akan buntung dan jatuh nelangsa. Semoga ini tidak terjadi.


Namun bagaimanakah kiranya supaya para kader instan itu tetap bertahan dan mampu memberi kontribusi maksimal bagi partainya? Ini juga bukan persoalan yang mudah. Jamak kita dengar adanya politisi ibarat bajing loncat dari satu partai ke partai lainnya dengan berbagai macam alasan. Jangankan para publik figur tersebut yang berlaku demikian. Mereka yang bahkan ‘bangkotan’ pada sebuah partai, atau bahkan mereka yang pada awalnya turut mendirikan dan membesarkan partai tersebut akhirnya balik kanan bila aspirasinya tidak diakomodasi, munculnya konflik pribadi atau karena faktor lain. Inilah kelemahan yang terdapat dalam tubuh Partai Islam; ketidakmampuan membangun soliditas internal, kebersamaan dan militansi yang kuat, khususnya di kalangan elit partai.


Apa yang terjadai di PKB, PPP, PBR dan juga PAN walau relatif lebih ringan menggambarkan sebuah kenyataan pahit di tengah umat ini, bahwa tokoh-tokoh partai Islam tersebut sangat sulit disatukan. Alih-alih menyatukan persepsi atau sekedar membangun komunikasi lintas Parpol Islam, secara internal pun mereka mengalami kerapuhan dan kesulitan membangun kebersamaan. Hingga saat ini, Partai Islam yang relatif aman dari kisruh internal adalah PKS, dan wajar saja bila Partai Islam lainnya dapat belajar dari PKS bagaimana membangun soliditas internal dan militansi kader yang menjadi ciri kekuatan tersendiri bagi partai ini untuk meraih kemenangan dakwah pada masa-masa yang akan datang.


Membangun Soliditas Internal adalah PR bagi seluruh partai Islam untuk tetap mempertahankan eksistensinya. Karena itu diperlukan kesatuan visi dan misi, tujuan, manajemen dan sistim kaderisasi yang kuat agar tidak muncul dikemudian hari kader partai yang tidak mememiliki afiliasi, kontribusi dan militansi untuk membangun partai agar tetap eksis hingga jauh.

Eksistensi Parpol Islam (1)

Ketiadaan tokoh nasional yang memiliki figur menarik dan dapat dijadikan sebagai uswah dan teladan bagi masyarakat Indonesia menjadi titik lemah pertama yang ada dalam tubuh partai tersebut. Keteladanan yang dimaksud tentu bukan hanya dalam retorika, tetapi prilaku dan akhlakul karimah harus lekat pada diri sang tokoh. Selain itu juga, ia harus mampu menjadi perekat bagi seluruh elemen yang ada dalam partai. Kita masih ingat bagaimana seorang da’i kaliber kaliber KH. Ustadz Zainuddin MZ, yang pada masa jayanya bergelar Dai Sejuta Umat, toh ternyata juga gagal membangun dan membesarkan partai yang ia lahirkan, dan sejarah Partai Bintang Reformasi (PBR) pun berakhir pada pemilu tahun ini.

Ini tentu saja agak berbeda dengan kekuatan figur yang dimiliki oleh seorang Megawati di PDIP, SBY di Demokrat atau Amin Rais di PAN. Secara umum konstituen PDIP masih memandang Megawati sebagai pelanjut warisan politik Bung Karno yang mengedepankan jargon peduli “Wong Cilik”, walau dalam pemerintahan Megawati dahulu peran kepedulian itu tidak terlalu menonjol. Maka eksistensi seorang Ibu Megawati di tubuh PDIP tetap menjadi kekuatan, walau sekaligus titik lemah. Karenanya muncul pertanyaan, “Apakah figur pengganti Megawati kelak dapat melebihi, atau menyamai kekuatan figur putri Bung Karno ini atau tidak.”


Demikian pula dengan figur seorang SBY yang membangun Partai Demokrat melalui keberhasilannya mencitrakan diri -atau dicitrakan oleh media- sebagai pemimpin yang teraniaya, yang akhirnya mampu merebut emosi dan simpati masyarakat Indonesia serta mengalahkan Megawati dan Amin Rais pada Pilpres 2004. Dan kini SBY juga berhasil mencitrakan diri sebagai Presiden yang sukses dalam pemerintahannya selama 5 tahun hingga merebut hati 60% suara pemilih dan menang dalam 1 putaran, terlepas dari berbagai kontoversi yang terjadi di dalamnya.


Sampai saat ini kita belum menemukan elite partai Islam yang mampu menyatukan sisi kenegarawanan dan figur ulama yang layak digugu dan diteladani rakyat, khususnya kaum Muslimin. Dahulu kita menitipkan harapan itu kepada seorang Gus Dur. Kita masih ingat bagaimana euforia tokoh-tokoh Islam dan kaum Muslimin khususnya saat beliau mampu meraih kursi nomor 1 negeri ini. Namun harapan itu runtuh saat ia akhirnya harus dipaksa turun tahta karena pemerintahannya yang tidak efektif. Ditambah lagi dengan munculnya sejumlah skandal pribadi yang memperburuk citra dirinya sebagai tokoh Islam.


Apa yang terjadi pada DR. Amin Rais pun tidak berbeda jauh. Bahwa tak seorang pun di antara kita memungkiri bahwa beliau adalah tokoh reformasi yang berhasil menggalang kekuatan massa dan mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto yang seakan tak bisa diruntuhkan. Namun, sangat disayangkan bahwa beliau tidak segera merebut momentum tersebut pasca lengsernya Habibi. Ia justru lebih memilih Gus Dur karena tenggang rasanya yang sangat tinggi terhadap NU. Dan setelah PAN ia tinggalkan, namanya pun kian redup seiring tergerusnya suara partai ini pada pemilu 2009.


Selain DR. Hidayat Nurwahid di PKS yang semakin dikenal saat ia menduduki kursi Ketua MPR, kita nyaris tidak lagi menemukan sosok tokoh sentral pada partai Islam lainnya setelah era Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi di PKB, atau DR. Amin Rais di PAN. Apakah DR. Hidayat Nurwahid masih tetap bertahan sebagai ketua MPR periode 2009-2014 dan namanya semakin berkibar sebagai tokoh nasinal yang berasal dari PKS, ataukah namanya juga akan redup seiring lengsernya beliau dari jabatan tersebut? Sekali lagi Keteladanan dan figur negarawan seorang tokoh Islam dalam sebuah Parpol Islam adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan untuk memperkuat bangunan partai tersebut.

Eksistensi Parpol Islam (pengantar)

Tergerusnya perolehan suara Parpol Islam yang selama ini berada di level menengah: PPP, PKB, PBB dan PAN dengan basis massa Islam pada Pemilu 2009, memunculkan beragam komentar skeptis apakah Parpol Islam tersebut masih mampu bertahan dan eksis hingga pemilu tahun 2014 nanti digelar? Komentar skeptis tersebut muncul ketika raihan suara Parpol Islam tersebut ternyata meleset jauh dari target yang diharapkan. Alih-alih bertahan dengan perolehan suara sama dengan Pemilu lalu, justru yang terjadi adalah penurunan jumlah suara sangat signifikan. Yang paling mengenaskan tentu saja adalah PBB (Partai Bulan Bintang) yang dikomandani oleh Menteri Kehutanan, MS. Ka’ban, karena tidak mampu mencapai ambang batas 2,5%. Artinya bahwa, sejarah Partai Bulan Bintang berakhir pada tahun 2009


Tak terkecuali PKS yang sebelum Pemilu digelar sejumlah elite partai mengklaim mampu meraih 20% suara, ternyata juga terkena imbas Tsunami Demokrat. Walau masih untung, kalau bisa dibilang demikian, karena perolehan kursi di DPR pada pemilu lalu 47 kursi, kini bertambah menjadi 57 kursi, itupun bila penghitungan kursi tahap 2 yang telah dilakukan oleh KPU tidak jadi dinulir oleh Mahkamah Agung. Yang sekarang deg-degan tentu mereka yang nama-namanya telah tercantum sebagai penghuni Gedung DPR periode 2009-2014, khawatir bila gugatan yang diajukan oleh caleg Partai Demokrat, dikabulkan oleh MA.


Turunnya popularitas Parpol Islam pada pemilu 2009 yang ditandai dengan berkurangnya jumlah suara yang diperoleh, juga bisa diartikan bahwa masyarakat Indonesia saat ini khususnya umat Islam yang bersimpati dan menyalurkan aspirasi mereka kepada parpol Islam tersebut pada pemilu lalu, perlahan-lahan mangalihkan dukungan mereka kepada partai Nasionalis, khususnya Demokrat yang lekat dengan kekuatan figur SBY. Hal ini juga mengindikasikan bahwa partai berbasis agama bukan jaminan umat Islam yang menjadi penduduk terbesar negeri ini memberikan dukungan dan sebagai penyalur aspirasi mereka. Umat Islam tentu ingin bukti dan karya nyata yang bisa mereka rasakan dampaknya secara langsung, bukan sekedar janji walau itu dihembuskan dengan angin syurga.


Menurunnya perolehan suara Parpol Islam pada Pemilu 2009 seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh elite partai tersebut, dan selanjutnya mengambil langkah-langkah penting agar nada minor dan alasan skeptis bahwa eksistensi Parpol Islam akan berakhir, tidak menjadi kenyataan memilukan. Maka pada tulisan ini, setidaknya ada beberapa langkah penting yang harus dibenahi dalam tubuh Parpol Islam tersebut. Antara lain adalah:

Ramadhan; Datang dan Pergi.

Saban tahun kita bertemu dengan Ramadhan, yang kemudian pergi dan kembali lagi. Bila usia kita saat ini 30, 40, atau 50 tahun, maka sudah sebanyak itu pula jumlah pertemuan kita dengan bulan agung nan mulia ini. Namun, seberapa berkesan dan mendalam pertemuan dan hasil interaksi kita dengannya selama sebulan penuh, setiap kita memiliki jawaban yang berbeda. Ada yang ketika ditinggalkan Ramadhan ia menyesal karena tidak memanfaatkannya dengan baik, ada yang tidak peduli dengan kehadiran dan kepergiannya, dan tidak sedikit yang bersuka cita saat Ramadhan pergi, karena ia menganggap Ramadhan hanya jadi penghalang berbagai keinginan dan syahwatnya.

Sebagian besar di antara kita menyambut suka cita dan bahagia kedatangannya dengan berbagai ungkapan; marhaban ya Ramadhan, ahlan wa sahlan yang Ramadhan, atau dengan kalimat yang kini akrab di telinga kita “Luv yu full, ya Ramadhan.” Bahkan jauh sebelum Ramadhan itu datang, pembenahan diri dan persiapan matang dilakukan, agar ketika akhirnya Ramadhan tiba, setiap menit dari waktu yang dimilikinya adalah untuk kebahagiaan sang tamu agung.

Begitulah Allah Ta’ala menjadikan bulan Ramadhan sebagai waktu bagi kita untuk melakukan kontemplasi, penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan saat terbaik untuk lebih mendekat kepada Yang Maha Kuasa. Bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga dari menjelang fajar hingga terbenamnya matahari, karena semua orang sanggup melakukannya. Tapi lebih dari itu; mempuasakan mulut, mata, pikiran dan hati dari segala sesuatu yang mencederai hakikat dari puasa yang dilakukan. Inilah yang membedakan cara orang awam dan orang spesial dan istimewa memperlakukan Ramadhan.

Ramadhan akan tiba, dan kan pergi lagi. Sudahkah kita siap menyambut kehadirannya laksana pemuda dimabuk rindu menanti tibanya sang kekasih pujaan hati, lalu berjanji sepenuh jiwa untuk tidak menyia-nyiakannya? Ataukah sambutan itu adalah sekedar saja dan apa adanya sebagaimana tahun-tahun lalu kita memperlakukannya? Semoga kelak di akhirat sana, nama kita menggema, dipanggil dari pintu ar-Royyan. Salah satu pintu syurga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang berpuasa.

8 Kebiasaan Buruk Manusia Indonesia (1)

Sebenarnya sudah sangat lama saya ingin menulis tentang beberapa kebiasaan dan prilaku buruk kita sebagai manusia Indonesia yang lahir dan tumbuh besar di negeri tercinta ini. Mungkin sebagai tambahan dari judul sebuah buku karya Mukhtar Lubis "Manusia Indonesia" yang sering dijadikan referensi untuk mengetahui karakter dan sifat-sifat umum manusia Indonesia khususnya hidup dari Sabang sampai Maroke, maupun tinggal menetap sebagai warga asing dari Maroko hingga Pulau Rote.

Sengaja tulisan ini saya buat untuk menjadi cermin dan pengingat bagi setiap kita, apakah sifat-sifat buruk ini melekat pada kepribadian kita, ataukah kita sering dan terbiasa melakukannya secara sadar, atau kadang-kadang, sekali-sekali dan tanpa tanpa sadar.

Delapan (8) kebiasaan buruk ini muncul sebagai hasil penelitian dan persaksian sekian waktu lamanya terhadap prilaku dan kebiasaan-kebiasaan buruk dan tak terpuji yang dilakukan orang-orang yang di sekitar kita. Bahkan mungkin termasuk saya sendiri dan Anda juga pernah melakukan hal. Maka saatnya kita sadar, bertobat dan tidak mengulanginya. Bila Anda punya tambahan terkait dengan tema ini, ya monggo ditambahin...

1- Meludah dan buang ingus disembarang tempat
Inilah kebiasaan buruk pertama yang sering kita lakukan sebagai manusia indonesia. Meludah atau buang ingus (iihhh..., jijik) bila dilakukan disembarang tempat, maka tidak hanya bisa mengenai orang-orang yang ada disamping kira kanan kita, tapi ingus atau ludah itu juga dapat menimbulkan penyakit. Coba bayangkan kalau ada seseorang yang berpenyakit TBC meludah di jalan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama virus yang terdapat pada ludah atau dahaknya itu akan beterbangan dibawa angin lalu masuk ke dalam hidung atau mulut orang-orang yang melalui jalan yang sama. Maka kata Rasulullah saw. Kaffarah (tebusan, bayaran) bagi orang yang meludah di jalan adalah "radmuha", menggosok ludahnya itu dengan alas kaki yang ia gunakan hingga ludahnya hilang tak berbekas. Cara terbaik yang kita bisa lakukan adalah meludah di kertas tissue lalu membuangnya di tempat sampah. Lebih aman dan tidak merepotkan, bukan?

2- Kencing berdiri di balik pintu mobil atau di balik pohon
Ini yang sering saya lihat saat berada di jalan raya atau berada di taman, atau pinggir jalan yang ditumbuhi banyak pepohonan rindang. Saya yakin Anda juga pernah menyaksikan sopir mobil; taksi ataupun umum (mungkin tidak termasuk pa H. Syafruddin itu yang ditulis bung Boy itu) dengan santai membuka pintu mobilnya dan menumpahkan air seninya tanpa peduli pada pandangan mata orang-orang yang lalu lalang disekelilingnya. Kebelet sih, kebelet. Tapi apakah harus mengorbankan rasa malu dan mempertontonkan malunya di pinggir jalan dan dibalik pohon? Apalagi orang seperti terkadang tidak lagi ber-istinja, atau bersuci dari najisnya sendiri. Bukan main!

3- Buang sampah di jalan raya
Pernahkah Anda menyaksikan penumpang atau pengendara mobil yang sedang melaju kencang didepan Anda membuang kulit pisang, bungkus rokok, botol air mineral dan lain sebagainya di atas jalan raya tanpa rasa salah sedikit pun? Orang yang nyaris tak berpendidikan seperti ini yang paling menjengkelkan bagi saya. Pernah suatu ketika di lampu merah jalan Pramuka, menghampiri sopir taksi yang dengan santai membuka pintu mobilnya dan membuang botol air mineral di jalan. "Bang, masa sih dibuang disitu. Emang tempat sampah?". Kataku kalem. Syukur sopir tersebut malu sendiri dan mengambil kembali sampahnya.

4- Balapan di lampu merah
Paling heboh saat kita berada diperempatan merah. Menyaksikan bajaj dan kendaraan roda dua yang masing-masing ingin didepan mendahului yang lainnya. Sehingga ketika detik-detik lampu hijau menyala, serta merta kendaraa-kendaraan tersebut melaju kencang seakan berlomba paling depan. Diperempatan lampu merah kita akan saksikan para raja jalanan ingin berlomba mananti kibaran bendera seakan berada di sirkuit balapan.

5- Makan sambil jalan
Saya sering menyaksikan orang-orang dengan santai makan sambil jalan. Padahal perilaku seperti ini sangat tidak elok. Bila dilakukan oleh anak kecil, maka itu masih dapat dimaklumi. Tapi bila dilakukan oleh orang dewasa, sudah bapak-bapak atau ibu-ibu, sungguh sangat tidak elok. Coba bayangkan kalau Anda makan sambil jalan, orang-orang yang berpapasan pasti akan memperhatikan makanan yang Anda makan, mulut Anda yang penuh makanan apalagi bila ada yang nyelip di antara gigi-gigi Anda. Sangat tidak elok terlihat. Anda tak dapat mengucap salam atau menjawab salam orang yang berpapasan dengan Anda karena mulut penuh makanan.
Rasulullah saw. Memerintahkan kita untuk tidak makan sambil berdiri, apalagi sambil jalan. Ini dalilnya: http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/34009 , atau klik: http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/adab-makan-seorang-muslim-2.html Hanya saja masih sangat banyak di antara kita yang tidak mengetahuinya.

6- Menjadikan jalan sebagai garasi
Jalan yang cukup untuk dua kendaraan roda empat berpapasan kini semakin sempit. Ini disebabkan karena orang-orang yang tidak punya garasi namun punya mobil menjadikan separuh dari badan jalan itu sebagai garasi, seakan jalan itu milik pribadi atau milik nenek moyangnya. Inilah yang terkadang membuat kemacetan dan mengganggu orang-orang yang melintas. Ini sama saja dengan mengambil hak orang lain. Padahal kita diperintahkan untuk tidak mengambil hak orang lain, bahkan hak pejalan kaki dengan menciptakan kemacetan di tengah jalan.
Maka bagi Anda yang sudah punya mobil tapi tidak punya garasi, sebaiknya sewa garasi atau parkiran umum agar tidak mengganggu orang lain, dan mobil Anda aman dari goresan tangan jail orang yang jengkel.

7- Sering bicara yang ada "kebun binatang" nya.
Kebiasaan buruk paling mewabah disekitar kita. Lihatlah anak-anak kita yang baru belajar bicara, sudah sangat fasih mengucapkan kalimat-kalimat "kebun binatang" karena mendengar orang tuanya, kakaknya dan orang-orang yang ada di sekelilingnya mengucapkan kalimat-kalimat buruk seperti itu. Paling sering terlontar saat dalam keadaan marah. Padahal masih sangat banyak kalimat yang lebih baik diucapkan ketimbang kata-kata buruk yang tidak layak diucapkan oleh manusia berakhlak.
Rasulullah saw. Mengajarkan kepada kita untuk diam, daripada mengucapkan kata-kata yang mengandung dosa "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian "falyaqul khaeran ao liyashmut" ngomong yang baik atau diam!"

8- Pake jam karet
Maksudnya tentu saja bukan jam yang kita kenakan di tangan yang bentuknya karet, tapi kebiasaan kita menyia-nyiakan waktu dengan terlambat saat ke kantor, kala rapat, saat ingin mengajar, bahkan saat shalat pun sukanya belakangan alias masbuq (terlambat, tertinggal). Terlambat rapat sama dengan merugikan pihak lain. Telat saat mengajar sama dengan mengkhianati amanah dan mengambil hak para murid. Terlambat ke kantor sama dengan korupsi waktu. Dan banyak lagi contoh kebiasaan terlambat yang menjadi budaya zaman baheula yang sudah mendarah daging.
Mari kita disiplin waktu. Mengubah secara perlahan-lahan kebiasaan buruk ini menjadi budaya baik sebagai syarat kemajuan bangsa disegala bidang: menghargai waktu yang diberikan oleh Allah Ta'ala.
Bila Anda punya tambahan kebiasaan buruk lainnya, silahkan......