Tidak dapat dinafikan bahwa peran pemerintah mengatasi sejumlah konflik horisontal khususnya, terlihat melempem. Bahkan pada sejumlah kasus muncul kesan pembiaran, entah untuk maksud tujuan tertentu atau tidak. Bila kesan pembiaran atau memelihara konflik itu benar adanya, maka sangat wajar bila masyarakat tidak akan pernah merasa aman dan nyaman berada di negaranya sendiri, karena kebutuhan mereka terhadap rasa aman hilang. Akibatnya, masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah mereka.Tapi satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, bahwa kita tidak mungkin menyerahkan solusi konflik yang terjadi kepada pemerintah atau aparat terkait semata tanpa peran dan keterlibatan masyarakat, atau kita sendiri tidak menginginkan atau tidak memberikan dukungan maksimal agar konflik itu berakhir. Ambil contoh konflik yang terjadi 1 tahun silam antara suku Dani dan Damal versus suku Amungme di Mimika, Papua. Walau upacara bakar batu sebagai tanda perdamaian telah dilakukan, bahkan beberapa kali, perang suku kembali membara mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak sedikit.
Faktor Pendidikan:
Konflik yang terjadi di area pedesaan atau perkampungan secara umum diakibatkan oleh beberapa faktor, dan yang paling fundamental selain faktor karakter dan ekonomi masyarakat adalah faktor pendidikan. Bila kita melihat sejumlah konflik horisontal yang terjadi Madura, Mataram atau beberapa kawasan pedesaan, maka itu biasanya dipicu oleh masalah yang sepele; ketersinggungan, salah paham dan semacamnya, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan hati dan kepala dingin, tanpa harus menyelesaikannya dengan otot.
Penduduk dengan latar pendidikan rendah biasanya akan lebih mudah tersulut emosinya walau dengan sebab sepele, tanpa mempertimbangkan matang dampak dari apa yang mereka lakukan. Bahasa otot lebih dikedepankan daripada bahasa otak. Sehingga dengan kemampuan terbatas seperti itu menjadi wajar bila konflik terus terjadi, karena mereka tidak memiliki bahasa nalar menyelesaikan konflik tersebut secara baik-baik. Bila faktor pendidikan adalah sebab mendasar munculnya konflik di wilayah pedesaan atau perkampungan sebagaimana fakta yang kita saksikan selama ini, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah lebih memperhatikan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat setempat, agar mereka memiliki daya nalar dan kemampuan berfikir yang lebih baik khususnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tengah mereka.
Walau demikian bukan jaminan bahwa pendidikan bisa menjamin tidak munculnya konflik horisontal. Karena kita juga melihat bahwa sejumlah komunitas yang berasal dari dunia pendidikan terkadang larut dalam konflik hanya karena persoalan remeh temeh yang usaha penyelesaiannya dilakukan dengan bahasa otot. Sama persis dengan bahasa penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat perkampungan. Inilah fakta yang kita temukan di kalangan mahasiswa yang kerap tawuran hingga membuat kita bingung; mengapa komunitas mahasiswa masih juga mengedepankan bahasa otot daripada bahasa otak dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah mereka, lebih mementingkan loyalitas sebagai sebuah entitas daripada rasionalitas dan moralitas sebagai kaum terpelajar.
Bila kita mengenal adanya tawuran antar mahasiswa yang mewakili lini akademisi, maka kita juga mengenal tawuran antara pendukung sepakbola, pendukung partai, pendukung calon gubernur, bupati dan semacamnya, yang apabila jagonya kalah, maka konflik antara kedua kelompok yang berseteru terkadang tidak bisa dielakkan. Namun mereka yang terlibat dalam konflik di atas secara umum berasal dari kalangan masyarakat berpendidikan rendah; lebih mengedepankan emosi dan loyalitas buta daripada nalar. Maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah, agar setiap klub sepakbola atau partai politik di Indonesia dapat mencerahkan fans (khususnya para Bobotoh dan Bonek) dan para pendukungnya yang mayoritas berasal dari kalangan grass root. Proses pencerahan dan pendidikan politik yang mereka peroleh akan mendewasakan mereka dalam berfikir dan bersikap saat menghadapi situasi yang mengecewakan.
Peran Agama dan Kebangsaan sebagai Perekat
Perbedaan budaya dan tradisi suatu wilayah dengan wilayah yang lain juga akan menghasilkan karakter yang berbeda. Inilah salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku dengan segala perbedaan yang ada padanya. Namun kemajemukan ini pada satu sisi menjadi ancaman munculnya konflik horisontal bila tidak dikelola dengan baik. Salah satu contoh paling dramatis bagaimana perbedaan ini menjadi faktor dominan meletusnya konflik memilukan antara etnis Madura sebagai pendatang versus etnis dayak di Kalimantan. Terlepas dari siapa salah siapa benar atas meletusnya konflik ini, kedua etnis yang saling bersengketa, khususnya tokoh ulama dan aparat pemerintah harus menjadikannya sebagai pelajaran berharga agar tidak lagi terjadi di masa-masa yang akan datang. Karena peristiwa ini tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa secara sia-sia, tapi juga meninggalkan penyakit psikis, dendam dan trauma berkepanjangan.
Bila kita menganalisa kasus di atas, maka ada elemen mendasar yang tidak berperan dengan baik di tengah masyarakat, yaitu peran agama yang seharusnya muncul sebagai perekat khususnya bagi komunitas yang berada dalam satu agama dan keyakinan. Disinilah sesungguhnya kita butuhkan peran penting para pemuka agama agar dapat mencerahkan para pengikutnya untuk lebih mengedepankan nilai-nilai kebaikan yang terdapat dalam agama yang mereka anut, persaudaraan sebagai sesama anak bangsa, disertai dengan upaya menghidupkan komunikasi dan dialog untuk menemukan jalan terbaik dari sebuah masalah yang terjadi di antara para pemeluk beragama. Sehingga kasus yang bernuansa sara dapat diredam sebelum meletup kepermukaan, sebagaimana kasus Ambon dan Poso disinyalir kuat terjadi sebab faktor tersebut.
Ancaman Separatisme
Virus gerakan separatisme yang merebak di beberapa wilayah tanah air khususnya di Timur Indonesia pasca GAM, adalah salah satu konflik vertikal yang merupakan ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa sebab munculnya virus ini adalah kesenjangan ekonomi, distribusi kekayaan alam yang tidak berdiri di atas prinsip keadilan, atau karena faktor ideologi. Eksistensi Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Republik Maluku Selatan (RMS) dengan berbagai aksi tak terduga yang kerap mereka lakukan khususnya pada hari peringatan kemerdekaan mereka, adalah bukti bahwa pemerintah belum mampu mengatasi merebaknya gerakan tersebut dengan berbagai cara yang dilakukannya selama ini.
Bila benar bahwa sebab-sebab di atas adalah pemicu tetap eksisnya gerakan separatisme di beberapa wilayah, maka pemerintah harus segera menciptakan iklim dan suasana yang lebih kondusif melalui pemerataan kesejahteraan, keadilan hukum, dan pelibatan tokoh-tokoh agama, apalagi bila masalah tersebut disebabkan oleh faktor ideologi. Apabila pemerintah telah melakukan cara-cara yang santun dan damai namun tidak juga menuai hasil, maka cara keras dan tegas sudah harus dilakukan.
Kembali ingin saya ulangi, bahwa Mengatasi berbagai konflik diatas tentu tidak hanya bisa diperankan oleh institusi atau lembaga pemerintah semata. Perlu dukungan dan keterlibatan masyarakat secara luas agar tercipta rasa aman di setiap jengkal tanah air indonesia.







