Rabu, 14 Oktober 2009

Mengurai Akar Konflik Warisan, Indonesia-Malaysia

Konflik dua Negara serumpun mulai terjadi sejak era pemerintahan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Abdul Rahman pada tahun 1962-1966. Bermula ketika Malaysia ingin menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu. Tentu saja keinginan itu ditentang habis oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Britania. Dari situlah konfrontasi bermula hingga menciptakan demonstrasi besar-besaran anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Bahkan dalam satu kesempatan para demonstran tersebut menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman dan memaksanya untuk menginjak Lambang Negara tersebut.

Apa yang kemudian dilakukan oleh Tunku Abdul Rahman meledakkan amarah Soekarno yang mengutuk keras tindakan itu yang akhirnya mengelorakan “Ganyang Malaysia” di seantero negeri. Peperangan akhirnya pecah antara Indonesia dengan Malaysia yang dibantu Australia, New Zealand, dan Inggris. Konfrontasi yang menewaskan sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) akhirnya diselesaikan melalui penandatanganan perjanjian damai pada 11 Agustus 1966, setelah diadakannya Konfrensi Bangkok pada 28 Mei 1966.


Empat puluh tiga (43) tahun setelah masa konfrontasi berakhir damai di meja perundingan, kini bara api konflik tersebut tampak membara kembali, khususnya beberapa tahun terakhir ini. Berawal pada 17 Desember 2002, ketika Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) memutuskan bahwa Malaysia mempunyai hak dan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan di Laut Sulawesi yang berada di perbatasan antara Kalimantan Timur dengan Sabah-Malaysia. Walau Mahkamah Internasional memiliki alasan kuat memenangkan Malaysia dalam kasus ini, namun kekalahan tersebut tetap saja meninggalkan luka di hati rakyat Indonesia.


Munculnya berbagai peristiwa memilukan yang dialami banyak TKI di Malaysia, kian maraknya klaim Negara tersebut terhadap kekayaan Intelektual, budaya dan seni Indonesia, adanya upaya aneksasi terhadap pulau ambalat dan pelecahan terhadap lagu kebangsaan Indonesia tampaknya semakin memerahkan bara api tersebut setelah sekian lama terpendam debu. Sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan Indonesia-Malaysia saat ini kembali memasuki memasuki titik kritis. Dan kisruh tersebut juga merambah Blog Kompasiana, menjadi tempat melampiaskan uneg-uneg, amarah dan antipati dalam bentuk hujatan, makian, dan berbagai kalimat yang bisa membuat kuping semakin memerah.


Bila ditilik dari rentetan konflik tiada henti Indonesia-Malaysia yang laksana warisan dua Negara serumpun, sepertinya akan terus terjadi bila akar konflik itu sendiri tidak ditebas habis. Bahkan akan jadi warisan turun temurun bila kedua Negara tidak memiliki formula tepat dalam memetakan dan mengatasi berbagai kasus yang menjadi pemicu konflik. Adapun reaksi dan respon rakyat kedua negara, apapun bentuknya, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Bahkan hanya menambah runyam dan menghabiskan energi walau atas nama nasionalisme sekalipun.


AH Mahally, Peneliti pada Centre for International Relations Studies, Universitas Indonesia, memetakan 3 masalah besar yang selama ini menjadi sumber konflik dan hambatan serius hubungan kedua negara:


Pertama, persoalan Tenaga Kerja Indonesia ( TKI).

Siapapun tahu bahwa upah kerja di Malaysia lebih tinggi sehingga sangat banyak warga negara Indonesia mengadu nasib sebagai TKI. Jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 3 juta orang. Yang resmi sekitar 1,5 juta. Hebohnya, jumlah ini ternyata hampir 10 persen jumlah penduduk Malaysia. Ditambah Keluhan yang sering terdengar di kalangan rakyat Malaysia, bahwa adalah TKI pria sering terlibat dalam aksi-aksi kriminalitas di negeri mereka.


Pada akar masalah ini, pemerintah SBY wajib melobi pemerintah dan departemen terkait di Malaysia untuk memberikan proteksi tambahan kepada para TKI. Langkah ini tetap harus dilakukan karena pemerintah RI sendiri belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. Jakarta perlu merenungi betapa repotnya Malaysia mengurus ratusan ribu TKI ilegal. Kendati pemerintah Malaysia sendiri tentu perlu berterima kasih karena berbagai gedung tinggi dan megah merupakan hasil karya warga Indonesia. Artinya bahwa, kedua negara serumpun ini baik Malaysia maupun Indonesia sesungguhnya masih saling membutuhkan.


Kedua, territorial overlapping claims (tumpang-tindih klaim perbatasan).

Persoalan inilah yang paling memicu emosi kedua bangsa. Setelah kasus Sipadan-Ligitan, lalu menyusul Ambalat dan teranyar adalah klaim atas pulau Jamur akan menjadi bara api paling potensial membakar kedua negara. Bahkan dalam kasus Ambalat (Februari 2005), pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu nyaris menyeret konflik bersenjata kedua negara, karena Kuala Lumpur dianggap hendak mencaplok Ambalat, pulau seluas Propinsi Jawa Barat yang ternyata memiliki kandungan minyak luar biasa.


Sejumlah upaya mesti dilakukan pemerintah antara lain adalah, mulai mendata kembali sekitar 9.634 pulau yang belum memiliki nama dari 17.504 pulau yang ada, sekaligus melakukan pengukuran dan pemetaan batas wilayah perbatasan, khususnya yang kerap menjadi titik persinggungan antara kedaulatan nasional dan negara tetangga, sekaligus menjaga batas keamanan wilayah dan menciptakan sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau tersebut melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru dan sebagainya.


Ketiga, illegal logging atau pembalakan liar.

Drama penggundulan hutan di Indonesia sudah lama terjadi. Namun, kapan para sutradara dan pemainnya akan dihukum seberat-beratnya, masih menunggu ‘keberanian’ para penegak hukum: Polri, Jaksa, Hakim.


Ahli ekonomi kehutanan dari Department for International Development (DFID), Inggris, David W Brown, mencatat kerugian Indonesia sebesar 5,7 miliar dolar AS (Rp 54,75 triliun) per tahun akibat illegal logging. Yang gawat, sudah 70 persen hutan perawan di Tanah Air dikabarkan telah amblas: dijarah, ditebang, dibakar, digunduli atau dialihfungsikan.


Ke 3 hal inilah yang dianggap masalah mendasar yang kerap memicu munculnya konflik baru. Adapun yang terakhir adalah:


Klaim atas kekayaan seni dan Budaya.

Pengakuan atas kekayaan seni dan budaya Indonesia sudah sering dilakukan Malaysia, bahkan mungkin sudah puluhan kali. Tidak ada rasa bersalah apalagi berdosa sedikit pun saat mengakui, bahkan mempatenkan kekayaan seni dan budaya milik negeri ini. Berbagai alasan klise sudah dikemukakan untuk mendapatkan justifikasi dari kejahatan plagiat yang dilakukan.


Agar masalah ini tidak terulang kembali dimasa yang akan datang, maka pemerintah seharusnya lebih protektif terhadap warisan budaya milik negeri ini, baik dengan cara mendata atau dengan mempatenkannya, lalu diberikan payung hukum tentang warisan budaya sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI).


Setiap kita mafhum, bahwa pemerintah RI hingga saat ini belum mampu mengatasi berbagai persoalan tersebut dengan tepat, apalagi membungkam pelakunya agar jera dan tidak mengulanginya kembali. Tapi sejumlah formula di atas mungkin bisa dilakukan – semoga pemerintah memiliki formula terbaik- agar konflik ini tidak menjadi warisan turun temurun bagi setiap generasi baru bangsa ini! Merdeka!!!


Tidak Sekedar Dikitik-kitik, Tapi Ditinju Malaysia!

Saya tergelitik juga membaca tulisan Kang Pepih Nugraha yang dia buat secara bersambung hingga postingan paling anyar, “Jangan-jangan kita butuh Malaysia” (Dikitik-kitik Malaysia,part 4), menanggapi serunya perdebatan yang ada pada setiap tulisan dan komentar terkait negeri Jiran ini. Perdebatan yang terkadang disertai sumpah serapah, hujatan dan makian terhadap Negara tetangga kita, Malaysia. Walau kata-kata tersebut, sebagaimana kata penulisnya, takkan melukai apalagi membuat lawan jatuh terkapar. Yang muncul hanya perasaan jengkel alias mangkel bin kesel!

Tapi menurut saya, penggunaan kata ‘dikitik-kitik’ Malaysia itu kurang tepat. Kalau dikitik-kitik kawan, mungkin takkan membuat kira marah karena bisa saja dia bercanda. Apalagi memang tidak menyakiti dan melukai secara fisik. Kalau kesel, mungkin ya. Karena itu menurut saya, kalimat yang cocok sebagai padanan analogi dari apa yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia dengan menggunakan jenis pukulan dalam olahraga tinju.


1- Hilangnya pulau Sipadan-Ligitan adalah sebuah uppercut Malaysia, yaitu pukulan pendek yang dilontarkan lawan dari bawah-keatas yang sasarannya adalah perut, ulu hati dan dagu sebagai bagian paling rawan dan paling diincar oleh lawan. Bila pukulan ini mengenai sasaran dengan tepat, bisa dipastikan lawan jatuh tersungkur, KO, walau pukulannya mungkin tidak sedahsyat si Leher Beton, Mike Tyson. Inilah pukulan paling telak yang dilancarkan Malaysia hingga mereka mampu menang, merebut Sipadan-Ligitan di meja perundingan. Beberapa kasus yang bisa dimasukkan dalam kategori pukulan uppercut yang dilancarkan Malaysia, antara lain adalah, penganiayaan para TKI, atau ketika menjiplak lagu Indonesia, Terang Bulan Terang Dikali sebagai lagu kebangsaan yang diklaim sebagai lagu rakyat Melayu.


2- Adapun klaim-klaim kepemilikan terhadap sejumlah kekayaan budaya dan seni milik Indonesia yang sampai saat ini mereka lakukan, saya analogikan seperti pukulan Longhook atau swing, atau pukulan yang dilontarkan dari jarak jauh yang biasanya untuk mengganggu konsentrasi lawan, dan sasarannya adalah kepala. Pukulan inilah yang paling sering dilontarkan oleh Malaysia. Setelah melancarkan longhook, mereka punya kesempatan untuk mundur mengatur strategi, dan maju kembali melontarkan pukulan lain yang lebih variatif ketika lawannya tampak lengah.


3- Adapun pelecehan terhadap lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, saya analogikan seperti pukulan stright yang sasarannya adalah kepala. Bila pertahanan tidak kuat, maka pukulan ini juga bisa menjatuhkan lawan.


Lalu bagaimana dengan Indonesia, pukulan apa saja yang telah dilontarkan? Dalam hal ini saya belum melihat Indonesia melancarkan pukulan bertenaga. Memang sesekali ada pukulan uppercut atau longhook yang dilontarkan penuh tenaga disertai semangat dan terkadang amarah meluap-luap karena sudah beberapa kali kena pukul. Namun ternyata Malaysia keburu mundur, mengelak dan menghindar sehingga berbagai pukulan itu hanya menerpa angin. Bahkan sambil mundur masih sempat-sempatnya menari-nari bikin panas hati. Seperti yang kerap dilakukan oleh Nassem Hamed terhadap lawan-lawannya.


Indonesia hingga saat ini hanya menampilan gaya defensif dengan double cover tetap menutupi kepala agar tidak kena pukul. Namun lama-kelamaan pertahanan kendor dan lemah sehingga dimanfaatkan oleh Malaysia untuk melancarkan pukulannya, syukur-syukur masuk dan dapat point, kalau tidak, yah ngga apa-apa juga.


Saya kira analogi di atas ring tinju lebih cocok disepadankan dengan apa yang telah dilakukan Malaysia terhadap Indonesia selama ini. Sejumlah pukulan telah dilontarkan yang tidak hanya bikin hati kian dongkol, tapi wajah membiru, hidung dan pelipis berdarah-darah, dan sekujur tubuh jadi meriang. Jadi menurut saya, memang tidak sekedar dikitik-kitik Malaysia!


Mewaspadai Munculnya Rezim Otoriter

Satu hal yang menjadi kekhawatiran banyak kalangan adalah munculnya rezim otoriter pada masa kepemimpinan SBY jilid 2 pada periode 2009-2014. Kekhawatiran ini cukup beralasan bila melihat perkembangan politik tanah air dewasa ini yang bergulir sangat cepat pasca Pilpres lalu yang dimenangkan oleh pasangan SBY-Boediono. Diawali ketika banyaknya dukungan parpol level menengah khususnya Parpol beriedologi dan berbasis massa Islam, ditambah kemungkinan merapatnya parpol besar, Golkar dan PDIP yang kalah dalam pilpres lalu, kemudian sepakat membangun koalisi besar yang sebelumnnya telah dibentuk oleh SBY.

Gejala merapatnya PDIP ke kubu koalisi besar itu terlihat ketika elit Demokrat yang diwakili Hadi Utormo selaku ketua partai berkunjung ke Teuku Umar, kediaman Ibu Megawati yang saat itu turut menerima kedatangan tamunya didampingi sang suami, Taufik Kemas dan Sekjer PDIP, Pramono Anung. Walau Sekjen PDIP ini membantah bahwa kunjungan tersebut membicarakan tentang agenda koalisi, namun kemungkinan terjadinya koalisi bersama tidak bisa dinafikan begitu saja. Apalagi bila berkaca pada pengalaman oposisi 5 tahun PDIP yang tidak meninggalkan catatan berkesan dan juga gagal merebut simpati pemilih dalam jumlah lebih besar. Ditambah lagi bahwa PDIP sedang mengincar posisi Ketua MPR yang bakal diisi oleh Taufik Kiemas, dan target ini akan berjalan mulus bila PDIP ‘berdamai’ dengan Demokrat sebagai jawara Pemilu 2009.


Apa yang diharapkan pada Golkar agar berperan sebagai oposisi setelah JK kalah telak dalam Pilpres lalu, juga sangat kecil. Sudah banyak alasan yang dikemukan sejumlah elit partai ini; tidak pengalaman sebagai oposisi lah, sistim oposisi itu tidak tepat dalam sistim presidensial, membangun bangsa tidak harus berada pada kubu oposisi lah, dan lain sebagainya. Ungkapan ini menjelaskan bahwa, Golkar kemungkinan besar akan bergabung dalam koalisi besar mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Apalagi Partai ini sedang mengejar waktu Musyawarah Nasional untuk pergantian ketua umumnya, sekaligus memutuskan sikap apakah berkoalisi atau beroposisi.


Yang tidak terlalu nyaring terdengar adalah sikap Gerindrah dan Hanura. Walau pun dari sejumlah statemen elit kedua partai tersebut menyatakan diri akan mengambil jarak sebagai oposisi dan tetap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Namun, kalaupun kedua partai baru ini memerankannya, maka peran mereka sebagai ’sparring partner’ juga tidak akan kuat. Karena SDM dan pengalamaan yang dimiliki kedua partai ini akan sulit menandingi kekuatan partai pemerintah. Berbeda dengan Golkar dan PDIP yang memiliki pemilih fanatik dan pengalaman panjang mereka di pemerintahan.


Gejala tidak akan munculnya oposisi yang kuat sebagai ’sparring Parner’ pemerintah inilah yang menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Karena bila semua partai politik memosisikan diri mendukung pemerintah dan tidak satu pun beroposisi, hal itu akan berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia (Kompas, 25/8). “Potensi dampak buruk yang paling meresahkan, pemerintahan ke depan akan dengan mudah terperosok menjadi rezim tanpa kontrol, rezim otoriter.” Tulis Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara. (Kompas, 28/8)


Membangun tradisi oposisi sebenarnya sudah dilakukan oleh PDIP sejak 5 tahun lalu. Hanya saja, peran oposisi yang dimainkan tidak meninggalkan catatan berkesan dan dinggap gagal mengontrol jalannya pemerintahan. Tradisi ini pun sesungguhnya dapat dilanjutkan bila saja partai politik yang kalah dalam pilpres lalu secara otomatis menempati kubu oposisi tanpa melakukan deal-deal politik atau mengkalkulasi untung rugi bila beroposisi, anggaplah peran itu sebagai mandat dari rakyat.


Lalu, bagaimanakah seharusnya setiap parpol mitra koalisi bersikap terhadap berbagai kebijakan yang akan diambil pemerintah? Apakah harus selalu setuju dengan berbagai kebijakan yang diambil, ataukah sekali-sekali melakukan kritik tajam dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah?


Adalah wajar bila setiap mitra koalisi mendukung penuh setiap kebijakan yang diambil pemerintah, dengan catatan, bila kebijakan tersebut berpihak dan pro rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang akan diambil hendaknya dengan sepengetahuan dan kesepakatan setiap mitra koalisi. Sehingga tidak ada kritik tajam apalagi penolakan terhadap kebijakan tersebut dari fraksi partai pendukung setelah dieksekusi dan dijalankan. Sebagaimana yang terjadi pada periode pemerintahan SBY sebelumnya, dimana ketidakkompakan dan perselisihan tajam terjadi antara sesama mitra koalisi. Misalnya Golkar dan PKS.


Kita tunggu saja, apakah ketiadaan partai oposisi yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan SBY selama 5 tahun kedepan, serta hilangnya sikap kritis parpol pendukung akan menyeret bangsa ini tersungkur dibawah kaki rezim otoriter?! Wallahu a’lam.


Berkhianat, Ciri Khas Politisi Kita!

Kita masih saja disuguhi penampilan tidak becus para politisi tanah air yang semakin menguatkan imej di tengah masyarakat bahwa mereka sesungguhnya masih sangat butuh pendidikan etika, moral dan nilai-nilai luhur. Bukan sekedar kemampuan intelektual untuk dapat dikatakan layak tampil sebagai pemimpin bangsa. Sangat rendahnya nilai-nilai moral dan etika pada diri politisi kita, apakah yang duduk sebagai anggota legislative di DPR hingga DPRd kota, atau sebagai pengurus sebuah partai, tidak hanya menimbulkan kisruh politik tapi juga semakin menjatuhkan nama, kredibilitas dan reputasinya sebagai politisi dan pemimpin yang seharusnya menjadi teladan di tengah masyarakat.

Mari kita lihat beberapa contoh bentuk pengkhianatan yang kerap dilakukan oleh para politisi kita ini:


1- Banyaknya politisi yang terlibat dalam kasus korupsi adalah bukti nyata betapa ciri khas sebagai pengkhianat amanah rakyat sangat lekat pada diri mereka. Bahkan Hasil survei Transparency International Indonesia (2006) tentang persepsi masyarakat menjelaskan, bahwa DPR dan parpol merupakan lembaga terkorup. Walau, hasil survei ini menghasilkan pro-kontra. Namun, bila kita perhatikan nama-nama yang akhirnya dijebloskan KPK ke dalam hotel Prodeo karena kasus korupsi, mayoritas berasal dari lembaga ini, yang bahkan kerap dilakukan secara berjama’ah.


2- Entah sudah berapa kali pula kita menyaksikan ruang sidang anggota DPR yang sepi nyaris kosong, atau kadang tidak memenuhi kuorum. Tindakan bolos dalam setiap sidang, baik dalam rapat paripurna, komisi, maupun pansus otomatis mengganggu jalannya proses-proses politik maupun legislasi. Akibatnya proses-proses tersebut menjadi lamban sehingga kebijakan yang seharusnya diambil cepat pun molor atau tertunda. Kebiasaan seperti ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat yang memilih mereka saat pemilu lalu.


3- Kita juga sering mendengar anggota dewan yang terhormat berangkat ke luar negeri dengan alasan studi banding. Namun, pada kenyataannya mereka memanfaatkan kesempatan tersebut dan fasilitas yang diberikan untuk jalan-jalan dan pelesir di negara tujuan. Prilaku seperti ini pun sungguh sebuah pelecehan dan penyalahgunaan jabatan dan amanah rakyat. Coba bayangkan, berapa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai ongkos keluar negeri sementara hasilnya pun tidak sesuai harapan, bahkan yang paling dominan adalah pelesirannya itu.


4- Tak terhitung pula jumlah politisi kita yang mengakhiri karir politiknya dengan cara memalukan karena skandal seks dengan wanita selingkuhannya. Menurut Syafi’I Ma’arif, karakter politisi seperti ini tak lebih seperti kerak. Kerak nasi, yang keras-keras, tapi disiram dengan air sedikit, sudah menjadi lembek. Karena mereka hanya mengabdi kepada tiga ‘ta’ (tahta, harta dan wanita) (Republika, 27/5/2009)


5- Upaya pengkhianatan pun bisa dilakukan terhadap kawan koalisi. Yang paling anyar adalah pernyataan Mubarok seusai pertemuan elit PD dan PDI-P di Teuku Umar, bahwa kedekatan tersebut adalah permainan politik semata untuk menekan mitra koalisi. Aneh, pertemuan elit 2 partai besar dianggap sebagai lolucon dan permainan belaka, dan juga sulit diterima akal bila ucapan tersebut karena keseleo lidah. Tidakkah politisi kita memiliki nalar dan intelektual yang lumayan bagus sehingga dapat berfikir masak-masak apakah kalimat tersebut layak dilontarkan atau tidak! Pernytataan itu pun bila benar adanya, hanya akan membuat kita semakin heran, bahwa ternyata hiruk-pikuk politik di negeri ini adalah permainan palsu belaka!


Jadi, jangankan kepada rakyat amanah dan tanggung jawab diabaikan dan dikhianati dengan begitu mudahnya, kepada mitra koalisi pun bukan persoalan yang sulit untuk dilakukan, pada saat para politisi kita seharusnya mempunya komitmen bersama untuk saling menghargai dan menghormati, agar kita sebagai rakya pun dapat belajar bagaimana berpolitik yang santun dan ber-etika.


Memang sangat miris menyaksikan wakil rakyat kita dengan tipikal dan karakter politik seperti itu. Tanpa moral dan etika yang hanya akan membawa negeri ini kepada situasi yang semakin sulit. Sementara kita, sebagai rakyat hanya bisa gigit jari menyesali pilihan kita dahulu tanpa mampu berbuat apa-apa! Atau, adakah yang bisa kita lakukan, kawan?!

Selasa, 13 Oktober 2009

Berkacalah, Indonesia!

Untuk kesekian kalinya negara tetangga, Malaysia melakukan tindak kejahatan terhadap bangsa kita, baik kepada rakyat khususnya TKI yang bekerja di sana, terhadap khazanah budaya Indonesia yang mereka paternkan dan atau berusaha diklaim sebagai milik mereka, ataukah secara institusi kelembagaan yang ditujukan kepada angkatan laut Indonesia saat mereka patroli laut di parairan Ambalat. Dan yang teranyar adalah kasus penistaan terhadap lagu Indonesia Raya setelah klaim tari pendet menyeruak.

Menilik pada kasus-kasus pelecehan, perampokan hak intelektual dan penistaan yang mereka lakukan dan terus saja berulang itu membuat kita harus berkaca kembali, sebenarnya dimana titik paling rapuh yang dimiliki bangsa ini sehingga terkesan tak berdaya menghadapi dan mengcounter berbagai serangan kejahatan yang dilakukan Malaysia yang nota bene kerap diklaim sebagai negara serumpun dan saudara tua? Inilah sesungguhnya yang menurut saya, harus menjadi tanda Tanya besar di kepala kita sembari mencari solusi terbaik yang kita bisa lakukan dan atau mengajukannya kepada pengambil kebijakan di negeri ini. Karena kita tidak ingin kisruh ini menguras energi, pikiran, waktu dan tenaga kita sementara jalan keluar tetap buntu. Kita perlu tahu, bahwa berita dan kisruh seperti ini tidak diketahui oleh masyarakat Malaysia secara luas, karena proteksi dan kontrol pemerintah terhadap media luar biasa ketat. Kecuali mereka yang bisa mengakses berita tersebut melalui dunia maya, dan jumlah mereka tentu sangat terbatas.


Sekarang mari kita melihat issu apa saja yang kerap mereka lontarkan sebagai perang urat saraf:

1- Bahwa Indonesia adalah negara korup, bahkan masuk dalam kategori terkorup di kawasan Asia, dan peringkat ke 5 terkorup di dunia!

2- Bahwa kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia, bahkan konon tertinggal 12 tahun.

3- Bahwa Indonesia adalah negara kaya raya dengan sumber alam dan SDM, tapi penduduknya pun miskin raya.

4- Bahwa Rakyat Indonesia jorok; kencing di balik pohon atau di balik pintu mobil, meludah di sembarang tempat dan lain sebagainya.

5- Bahwa Indonesia itu adalah bangsa kuli, membanjiri Malaysia dengan imigran dan TKI gelap, dan berbagai issu lainnya.


Kembali sejumlah issu di atas kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah benar atau sekedar bualan Malaysia saja? Bila benar, langkah apa yang harus kita lakukan?:

1- Berantas korupsi sampai ke akar-akarnya dan tanpa pandang bulu, dimulai dari pucuk kekuasaan. Lalu hukum seberat-beratnya pelaku korupsi kalau perlu hukum mati!

2- Perbaiki kualitas pendidikan; sistim kurikulum, infrastruktur, sarana dan berbagai fasilitas pendukung lainnya.

3- Rancang berbagai program pemberdayaan kaum miskin agar dapat mandiri dan mampu keluar dari jerat kemiskinan.

4- Perda bisa dibuat oleh Pemda terkait dengan hal ini, misalnya, di beberapa daerah ada larangan merokok di tempat umum, maka aturan ini harus diawasi ketat.

5- Batasi pengiriman TKI, bukan lapangan kerja dan berdayakan mereka!

Jawabannya tentu saja simple walau penyelesainnya tidak semudah membali telapak tangan.


Sekarang mari kita lihat, apa saja yang dilakukan oleh pemerintah menyikapi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh negara tetangga kita ini:

1- Menyampaikan teguran keras!

2- Mengirim nota protes, dan saya tidak tahu kalau masih ada yang lain!

Dan hasilnya? Malaysia tetap saja berulah, mengulang dan mengulang kembali kejahatan dan pelecehan terhadap negara kita. Ini berarti bahwa sikap yang diambil pemerintah selama ini sangat tidak efektif, bahkan jauh dari sasaran yang diinginkan agar Malaysia jera.


Usulan sebagaian masyarakat Indonesia sebagai sikap yang dianggap tepat dan efektif:

1- Menarik Duta Besar Indonesia di Malaysia dan menutup Kedubes Malaysia di Jakarta.

2- Otomatis terjadi pemutusan hubungan diplomatic.

3- Menarik seluruh TKI dari Malaysia.

4- Ganyang Malaysia

Bila cara ini akan ditempuh, maka yang harus dipikirkan masak-masak adalah resiko dari kebijakan tersebut yang juga tidak mudah diambil. Kalau pun akhirnya demikian, maka kita pun harus siap menerima berbagai konsekwensinya:

1- Pemutusan hubungan diplomatic berimbas pada masalah ekonomi, pencabutan konsesi bisnis dan pengurangan nilai investasi yang diperkirakan berjumlah 1 miliar dolar. Dan Indonesia akan dipandang negara lain sebagai negara yang agresif.

2- Apakah tersedia lapangan kerja bagi TKI yang berjumlah sekitar 2 juta orang, ataukah pemerintah mampu memfasilitasi mereka?

3- Apakah kekuatan militer kita mampu mengalahkan Malaysia?


Dari catatan diatas, kita mungkin sudah bisa memetakan langkah terbaik apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk membungkam mulut besar Malaysia. Berbagai kelemahan yang kita miliki dan kemajuan yang mereka peroleh bukan alasan bagi mereka untuk melecehkan bangsa ini. Sebagaimana kita, yang walau masih dibelit berbagai masalah dalam negeri, namun tidak mungkin berdiam diri menyaksikan berbagai pelecehan dan penistaan yang mereka lakukan. Persetan dengan jargon negara serumpun dan saudara tua!


Kritik tajam terhadap pemerintah harus dilakukan, agar diperoleh solusi paling efektif, taktis, tepat sasaran dengan resiko paling ringan agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali! Caranya? Atas nama Rakyat Kompasiana mungkin bisa mengirim surat resmi sebagai bentuk keprihatinan sekaligus pressure bagi pemerintah agar dapat menyelesaikan masalah ini dengan cepat, karena lebih cepat menyelesaikannya, lebih baik! Agar pikiran, waktu, tenaga dan energi kita tidak terlampau terkuras hanya untuk menghujat, mengumpat, mencaci maki dan sebagainya. Sementara efektifitas penyelesaiannya ada di tangan pemerintah! Dan kita siap mendukung langkah apapun yang diambil! Merdeka!


Pemerintah Tanpa ‘Sparring Partner’, Sebuah Ancaman!

Apa yang diprediksi banyak orang bahwa bila Megawati-Prabowo yang didukung PDI-P dan Gerindra kalah dalam pertarungan Pilpres 2009 akan menempatkan PDI-P sebagai oposisi, akhirnya perlahan mulai menguap. Ini terjadi ketika Ketua Partai Demokrat, Hadi Utomo ditemani ketua Fraksi Demokrat DPR, Syarief Hasan berkunjung ke kediaman Megawati di Teuku Umar, Rabu, (19/8) malam. Ketika itu Megawati ditemani sejumlah elit PDI-P dan sang suami, Taufik Kemas yang sekaligus menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan yang diraih oleh SBY. Seusai kunjungan, Sekjen PDI-P, Pramono Anung mencoba mengakui bahwa pertemuan antara utusan SBY dengan suami Mega tersebut tidak membicarakan koalisi di pemerintahan SBY-Boediono mendatang, tapi hanya membicarakan seputar legislatif dan pencalonan TK sebagai ketua MPR. Namun sejumlah pengamat mulai memprediksi bahwa pintu menuju koalisi semakin terbuka lebar. Bila asumsi ini menjadi kenyataan, maka koalisi besar nan tambun yang digalang SBY dan Demokrat akan semakin menguat di pemerintahan.

Begitu mudahkah PDI-P berubah haluan dari partai oposisi pada lima tahun terakhir untuk kemudian melepaskan baju dan segala identitas oposannya lalu bergabung dengan koalisi SBY? Gejala inilah yang disesali banyak kalangan, Bahkan di internal PDI-P mulai muncul penolakan saat issue ini mulai mengemuka, khususnya dari kalangan kaum muda PDI-P, yang lebih memilih berada di luar kekuasaan mengontrol jalannya pemerintahan, sekalgus melanjutkan tradisi oposisi yang sudah berjalan selama 5 tahun terakhir walau hasil belum sesuai harapan.


Tidak dapat disangkal bahwa peran oposisi PDI-P selama pada periode pemerintahan SBY-JK memang tidak memberikan catatan mengesankan layaknya sebagai partai oposisi. Tidak ada gebrakan atau pressure berarti terhadap pemerintahan SBY-JK terkait masalah ekonomi, pendidikan, kebijakan luar negeri dan sebagainya, yang masih dapat dikenang oleh rakyat sampai saat ini. Sehingga bisa dikatakan, bahwa walau PDI-P mengklaim sebagai partai oposisi, namun pengakuan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan.


Realitas itulah yang mungkin menghantui sejumlah elit PDI-P, bahwa keinginan untuk memperkuat citra partai melalui peran oposisi sekaligus memperluas jaringan konstituen untuk meraih suara terbesar pada Pemilu 2009 ternyata gagal. Berkaca pada pengalaman tersebut membuat elit partai Moncong Putih ini berfikir ulang untuk melanjutkan peran sebagai oposisi, apalagi bila kinerja pemerintahan SBY-Boediono selama 5 tahun kedepan ternyata semakin membaik dan tidak mengalami guncangan berarti internal dan eksternal. Ini bisa membuat peran partai oposisi sebagai ‘sparring partner’ pemerintah bak macan ompong.


Yang juga disesalkan banyak kalangan adalah sikap yang diambil elit partai Golkar yang dengan tegas menyatakan bahwai partai ini tidak memiliki tradisi oposisi dari sejak kelahirannya hingga masa SBY memimpin. Partai ini senantiasa berada dalam lingkar kekuasan memberikan sumbangsi dan kontribusi bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Atau dengan alasan bahwa oposisi hanya dikenal pada sistim Parlementer dan tidak pada sistim Presidensil yang kita anut. Walau alasan tersebut telah dibantah, namun elit Golkar tampak keukeuh alasan yang dikemukakannya. Padahal bila saja Golkar dengan tegas menyatakan kesiapannya berperan sebagai Partai oposisi, maka itu akan menjadi ‘sparring partner’ yang tangguh bagi pemerintah berkuasa, karena pengalaman elit partai ini dalam lingkar kekuasaan dapat dijadikan sebagan pijakan kuat dalam mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.


Adapun sejumlah alasan yang dikemukakan elit partai tersebut hanya mengesankan rasa takut terhadap peran oposisi; khawatir dibonsai dan dilumpuhkan dan mungkin berbagai kekhawtiran lainnya. Padahal bila peran oposisi dijalankan dengan baik, itupun sebuah peluang untuk memperkuat pilar-pilar partai yang tampak rapuh dihempas Tsunami Demokrat, dan citra kenegarawanan juga bisa lahir dari sini.


Pilihan yang akan diambil oleh kedua partai yang berada di level atas ini memang sangat pragmatis dan sarat dengan kalkulasi politik untung rugi. Kalkulasi untungnya bila bergabung dalam koalisi dan pemerintahan. Antara lain adalah:

1- Peluang pendanaan untuk operasional partai bisa mudah diperoleh

2- Memungkinkan untuk memperkuat citra tokoh internal melalui jalur menteri

3- Eksistensi partai untuk 5 tahun ke depan bisa lebih kokoh


Namun sejumlah ancaman diprediksi akan muncul bila tak satupun partai, khususnya Golkar dan PDI-P yang tampil sebagai oposisi. Antara lain adalah:

1- Lemahnya kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan

2- Munculnya otoritarianisme di pusat kekuasaan

3- Munculnya aksi massa dan gerakan perlawanan rakyat yang tidak berafiliasi kepada partai manapun bila kinerja pemerintah buruk dan kebijakan tidak berpihak kepada rakyat.


Kita tetap berharap bahwa pemerintahan SBY-Boediono ini akan lebih baik daripada masa sebelumnya. Walau kehadiran partai oposisi juga saat penting dalam sebuah pemerintahan presidensil sebagai ‘sparring partner’ bagi pemerintah bila saja mereka gagap dan gagal mengemban amanah rakyat.

Sumber:

Link 1, Link 2, Link 3,


Kalau Perang Lawan Malaysia, Mungkinkah Menang?

Kontroversi kembali dimunculkan negeri jiran Malaysia, setelah Rumah Produksi (KRU) negara tersebut menampilkan Tari Pendet dalam program film mereka. Ini adalah klaim kesekian kalinya yang masih saja terulang terhadap sejumlah kekayaan seni dan budaya Indonesia, membuat suasana panas muncul kembali antara kedua Negara. Apalagi kasus lepasnya Sipadan-Ligitan dan patroli militer Malaysia di perairan Ambalat masih lekat dalam ingatan. Pemerintah RI, dalam hal ini Presiden SBY pun sangat terusik dengan adanya klaim tersebut. Ditambah lagi dengan kasus Ambalat beberapa waktu lampau yang tampak berusaha dijadikan sebagai bagian dari wilayah territorial Malaysia dengan melakukan patroli laut disekitar pulau tersebut sembari mengusir para nelayan Indonesia yang mencari ikan disana.

Klaim atau pengakuan yang kesekian kalinya terhadap apa yang menjadi milik Indonesia akhirnya menuai caci maki dan amarah luar biasa dari rakyat, termasuk ‘rakyat’ Kompasiana yang dalam beberapa hari terakhir sejumlah postingan terkait kisruh tersebut masih tetap populer dan dikunjungi banyak pembaca disertai beragam komentar panas terhadap Negara tetangga yang kerap menggembar-gemborkan sebagai negara serumpun, sekaligus disertai kritik pedas nan tajam terhadap reaksi dan sikap yang diambil pemerintah terhadap kasus seperti ini. Walau SBY, konon sudah menampakkan amarah dan ketidaksukaannya terhadap realitas tersebut. Namun kita semua tidak tahu bagaimana beliau melampiaskan amarahnya, dan apa hasil yang diperoleh dari amarah yang ditampilkan pa SBY itu.


Bahkan bukan sekedar caci maki dan umpatan kasar yang ditujukan terhadap pemerintah Malaysia. Seruan ‘Ganyang Malaysia’ kembali berkumandang setelah sempat redup pasca demo besar-besaran di depan Kedubes Malaysia ketika seorang pelatih Karateka Indonesia dihajar polisi Diraja Malaysia pada September 2007 lalu, dan kasus penganiayaan terhadap sejumlah TKI yang bekerja disana. Menggemanya kembali seruan “Ganyang Malaysia” oleh sejumlah pihak di tanah air membuat saya tepekur sejenak, bahwa walau seruan tersebut adalah letupan emosi dan amarah yang seakan sudah sampai di ubun-ubun dan akhirnya akan reda juga, namun bila itu terjadi (dan kedua Negara niscaya tak menghendakinya), sanggupkan kita memenangkan pertempuran melawan Malaysia yang walau wilayahnya sangat kecil dan personil tentaranya lebih sedikit namun memiliki persenjataan militer yang konon lebih canggih?


Mari kita melihat perimbangan kekuatan militer kedua Negara:

MALAYSIA
Militer Negeri Jiran itu bernama Tentara Diraja Malaysia. Pada awal pembentukannya, peralatan militer buatan Inggris banyak dipakai negara ini. Kini mereka menggunakan peralatan dari sejumlah negara, termasuk pesawat buatan Indonesia.


Kapal Perang

- Satu kapal penyelam dilengkapi meriam 20 mm

- Dua kapal cepat pengangkut pasukan

- Empat kapal patroli buatan Prancis ber-rudal Exocet MM38 dan meriam Bofors

- 24 kapal perang yang berpangkalan di empat tempat: Lumut, Sandakan Sabah, Kuantan, dan Labuan. KD Kerambit yang berada di sekitar Ambalat merupakan salah satu kapan yang berpangkalan di Sandakan, Sabah.

- Dua kapal patroli buatan Korea Selatan yang dilengkapi meriam 100 mm Creusot Loire, 30 mm Emerlac, dan senjata penangkis antikapal selam. Kapal ini berpangkalan di Kuantan/

- Empat kapal buatan Swedia dilengkapi rudal MM38 Exocet, 57 mm Bofors, dan 40 mm Bofors berpangkalan.

- Empat kapal Frigate, dua di antaranya dibeli bekas dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris.

- Enam kapal Corvette buatan Jerman

- Empat kapal patroli penangkis ranjau buatan Italia

- Dua kapal Multi Purpose Command and Support Ship buatan Jerman dan Korea Selatan
- Satu kapal Sealift

- Dua kapal Hydro


Pesawat Tempur

- F-5 E

- Hawk MK108 berpangkalan di Alor Setar, Kuantan, dan Labuan

- Hawk MK-208 berpangkalan di Alor Setar, Kuantan, dan Labuan

- Delapan F/A-18D berpangkalan di Alor Setar

- Mig-29 berpangkalan di Kuantan

- SU-30 berpangkalan di Kuantan

- F-28 berpangkalan di Kuala Lumpur

- Falcon berpangkalan di Kuala Lumpur

- Beech 200T berpangkalan di Kuala Lumpur

- C-130H berpangkalan di Kuala Lumpur

- CN-235 berpangkalan di Kuala Lumpur

- S61A-4 berpangkalan di Kuala Lumpur, Kuching, dan Labuan

- AS61N-1 berpangkalan di Kuala Lumpur

- S70A-34 berpangkalan di Kuala Lumpur


Personel
- Jumlah prajurit semua angkatan: 196.042 (2002)

- Anggaran militer per tahun: US1,69 triliun (2,03 persen GDP)


INDONESIA
Embargo pembelian peralatan militer dari Amerika membuat rontok sejumlah peralatan militer Indonesia. Pesawat tempur terbaru, Sukhoi SU-27 SK dan SU-30 MK buatan Rusia, pun masih ompong tak punya senjata. Adapun dari 12 pesawat tempur “andalan”, F-16, dua di antaranya sudah jatuh dan hanya delapan siap terbang.


Pesawat dan Heli

- Delapan Hawk MK 109 berpangkalan di Pekanbaru, Pontianak

- 32 Hawk MK 209 berpangkalan di Pekanbaru, Pontianak

- Enam CN235 berpangkalan di Halim

- Delapan F27-400M berpangkalan di Halim

- SF260MS/WS berpangkalan di Halim

- B707-3MIC

- Tujuh pesawat F27-400M

- F28-1000/3000

- L100-30

- C-130H-30 berpangkalan di Halim

- NAS332L1

- L100-30

- EC-120B

- 12 unit Heli Bell 47G-3B-1 berpangkalan di Kalijati

- Lima F-16A berpangkalan di Madiun

- Lima F-16B berpangkalan di Madiun

- F-5E berpangkalan di Madiun

- F-5F berpangkalan di Madiun

- Hawk Mk53 berpangkalan di Madiun

- dua Su-27SK berpangkalan di Makassar

- dua Su-30MK berpangkalan di Makassar

- NC212M-100/200 berpangkalan di Malang

- Ce 401A berpangkalan di Malang

- Ce 402A berpangkalan di Malang

- 10 Pesawat Bronco OV-10F di Malang


Kapal Perang

- 114 armada berbagai jenis (sepertiganya untuk operasi rutin, sepertiga untuk latihan, dan sisanya untuk pemeliharaan)


Personel
Jumlah prajurit (semua angkatan): 250 ribu orang

Anggaran militer per tahun: US$ 1 triliun (1,3 persen GDP)

Diambil dari: http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs,20050308-01,id.html yang bersumber dari: www.scramble.nl, and www.nationmaster.com, TDLM


Yang up to date dapat dilihat disini:

http://www.sumbawanews.com/berita/internasional/inilah-perbandingan-kekuatan-militer-indonesia-vs-malaysia/2-3.html


Dari data ini kita bisa mengetahui perimbangan kekuatan kedua Negara, yang walau masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, namun kita tetap yakin bahwa Indonesia akan dengan mudah menaklukkan Malaysia sekaligus menjadikannya sebagai Propinsi ke 34 secara de fakto (ini postingan bung osa-kurniawan-ilham) bahkan secara de jure. Itupun bila negara yang menjadi induk semang Malaysia, yaitu Inggris tidak turut campur membantu mantan jajahannya. Apalagi bila ada pengiriman sipil militer khususnya mereka yang memiliki nasionalisme tinggi yang ada di negeri ini, dan lebih khusus lagi mereka yang menggemakan ‘Ganyang Malaysia’, termasuk mereka yang menuliskan komentar nasionalismenya di postingan sdr. Abdi Darma di Kompasiana, maka saya kira pertempuran akan dengan cepat berakhir.


Tapi sebelum itu, apakah memang cara ini yang akan ditempuh sebagai diplomasi terakhir kedua Negara bertetangga, negara serumpun, dan bahkan sejumlah kalangan elit dan pemimpin bangsanya konon berasal dari keturunan suku Bugis (ini postingan Andy Syoekryamal)? Pertanyaan ini berpulang kepada pemerintah Indonesia yang seharusnya bersikap sangat tegas terhadap Negara tetangga yang kehilangan identitas pribadi dan tidak punya rasa malu itu, yang telah beberapa kali mengkitik-kitik (meminjam kalimat kang Pepih) dengan berbagai macam cara; merebut Sipadan-Ligitan, patroli di Ambalat, mengklaim kekayaan seni dan budaya Indonesia serta penganiayaan terhadap TKI yang bekerja disana.


Ini sengaja mereka lakukan karena mereka melihat bahwa kita sangat lemah dalam beberapa sisi:

1- Diplomasi politik yang tidak mumpuni

2- Kekuatan militer yang terbatas dan lemah

3- Fundamental ekonomi dan pendidikan lemah.

4- Korupsi yang masih marak di kalangan elit pemerintah dan swasta.

5- Pengawasan terhadap khazanah seni dan budaya yang juga lemah dan berbagai kelemahan lain.


Berbagai kelemahan ini tentu saja tidak untuk semakin memojokkan pemerintahan negeri ini. Tapi semua itu untuk dijadikan sebagai informasi dan masukan, untuk selanjutnya dilakukan upaya perbaikan pada seluruh sector tersebut secara simultan dan berkesinambungan. Karena hanya dengan cara seperti itulah negara kita, Indonesia akan disegani, dihormati dan bermartabat dihadapan Negara-negara lain. Pada saat itulah, saya dan kita semua yakin takkan mendengar lagi adanya pelecehan terhadap militer Indonesia di perairan Indonesia, atau klaim dan pengakuan terhadap sebuah pulau atau kekayaan seni dan budaya milik negeri ini, apalagi cerita pilu TKI kita yang dianiaya oleh majikan negara tetangga.


Caci maki, umpatan, hinaan dan berbagai kalimat senada lainnya yang tak ada habisnya sebagai ekspresi luapan amarah, dan katanya sebagai bukti nasionalisme yang ditujukan kepada pemerintah dan rakyat Malaysia, atau bahkan kepada pemerintah sendiri, takkan pernah menyelesaikan masalah. Menurut saya, pressure dan kritik membangun harus lebih banyak ditujukan kepada pemerintah kita sendiri, seraya setiap kita terlibat aktif dalam proses perbaikan dan pembenahan moral, mental dan edukasi di tengah masyarakat. Sehingga berbagai kelemahan yang sudah terdeteksi itu dapat segera diatasi agar pemerintah dan kita rakyat Indonesia lebih kuat, terhormat dan bermartabat, tidak hanya di hadapan negara tetangga yang sebenarnya bukan ancaman itu, tetapi di mata dunia internasional!


Negara Serumpun yang Tak Punya Rasa Sayange!

Ada perasaan tak nyaman saat menginjak bandara Kuala Lumpur Malaysia bersama tujuh orang teman untuk mengikuti workshop manajemen selama beberapa hari di Petaling, Selangor, pada 29/09/2007. Perasaan tak nyaman itu disebabkan kasus yang saat itu heboh di tanah air; pengeroyokan seorang pelatih karateka Indonesia oleh polisi Diraja Malaysia. Setelah melalui pintu migrasi, dengan nada bercanda saya berkata kepada kawan-kawan agar ketika ditanya oleh petugas atau warga setempat, “Dalam rangka apa Melaysia.” katakan saja, “Sedang nyari polisi pelaku pengeroyokan warga Indonesia.”

Berita yang saat itu sangat heboh di tanah air karena menjadi headline seluruh media, bahkan Kedubes Malaysia di Jakarta didemo ribuan massa yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, ternyata tidak menjadi berita penting bagi media Malaysia. Sehingga sangat wajar bila hanya segelintir orang yang mengetahui kasus tersebut. Juga tidak aneh bila kasus-kasus lain terkait dengan penyiksaan TKI, penistaan, pemalakan, pemerkosaan dan berbagai kasus lainnya yang dilakukan para majikan, aparat atau RELA Malaysia kerap terulang, karena kasus-kasus itu tidak diekspos sehingga dianggap tidak pernah ada, apalagi menciptakan efek jera bagi warga yang lain. Tentu situasinya akan berbeda bila kasus sedemikian dipublikasi media Malaysia lalu ditindaklanjuti oleh aparat berwenang melalui hukuman setimpal agar menjadi ‘pelajaran’ bagi warga yang lain.


Merajut Ikatan Sebagai Bangsa Serumpun

Sebagai ‘Negara Serumpun’, apalagi mayoritas penduduk kedua negara ini adalah Muslim, maka sudah selayaknya bila hubungan kedua negara lebih erat dan kuat. Karena hubungan itu tidak hanya dibangun melalui jalur politik, sosial, budaya dan hubungan bilateral yang saling menguntungkan kedua belah pihak, tapi juga dirajut oleh ikatan “Bangsa Serumpun”. Adanya ikatan ini seharusnya membuat kedua negara lebih saling menghormati dan menghargai; sesuatu yang juga patut disosialisasi kepada warga Malaysia, walau tetap harus menggunakan proses hukum bagi para pelaku kejahatan yang disinyalir banyak dilakukan oleh warga Indonesia, dan tentu saja hukuman setimpal terhadap para majikan yang melakukan tindak kriminal dan penganiayaan terhadap warga Indonesia, khususnya yang berstatus sebagai TKI.


Menurut penulis, ini adalah salah satu pendekatan sederhana sebagai Negara Serumpun yang dapat dilakukan untuk menciptakan ‘Rasa Sayange’ yang bukan hanya berlaku bagi sesama warga Malaysia, tapi juga dirasakan oleh Warga Indonesia yang tinggal di negara tersebut, walau mereka berstatus sebagai pembantu, kuli kasar dan sebagainya. Kita tidak perlu mengungkit-ungkit bahwa keberhasilan Malaysia membangun gedung-gedung tinggi dan mewah itu berkat keringat warga Indonesia yang bekerja disana. Karena para pekerja itu juga menerima upah dan gaji yang sedikit banyak dapat mengangkat ekonomi keluarga mereka di kampung.


Yang jauh lebih penting kita tumbuhkan sebagai negara tetangga; Indonesia-Malaysia, adalah aplikasi nilai-nilai ‘Rasa Sayange’ sebagai negara serumpun. Itu jauh lebih urgen dari sekedar mempermasalahkan milik dan hak siapa sesungguhnya lagu ‘Rasa Sayange’ itu. Karena penyelesaian dari masalah ini akan menjadi lebih mudah bila saja nilai-nilai lagu tersebut melekat lebih dahulu dalam diri kedua bangsa, khususnya para pemimpin kedua negara. Bila saja demikian, Malaysia tentu malu dan takkan berani mengklaim apalagi mempatenkan lagu ‘Rasa Sayange’ yang sejak kecil saya hapal dan nyanyikan dalam kegiatan Pramuka, sebagai lagu milik mereka. Mungkin semangat rasa sayang dan cinta kasih yang tumbuh kuat di antara sesama warga Malaysia yang berasal dari berbagai etnis itulah yang membuat mereka merasa lebih berhak memiliki lagu ini daripada kita, Indonesia, yang dengan keberagaman etnis, suku, agama dan budayanya acap tak mampu hidup dengan rasa sayang dan cinta damai serta menjadikannya dinamika yang berfungsi sebagai perekat.


Jangan Kehilangan Rasa

Demikian pula Indonesia, yang ketika mendengar lagu ‘Rasa Sayange’ diklaim sebagai milik Malaysia, maka penyelesaiannya pun tidak harus disertai caci maki dan hati panas. Ada cara yang lebih soft. Apalagi ini terkait dengan budaya dan seni, maka selayaknya diselesaikan dengan cara yang lebih lembut. Yang disayangkan adalah tidak tumbuhnya ‘Sayange’ pada diri kedua bangsa sehingga penerimaan ‘Rasa’ pun selalu negatif. Disinilah sesungguhnya akar masalah itu. Saat mendengar kata ‘Indon’ disebut, maka ‘Rasa’ warga Indonesia pun berkonotasi buruk dan negatif; pelecehan dan penghinaan. Walau pun yang menyebutnya –mungkin- tidak bermaksud demikian. Bila kalimat itu bermaksud demikian, maka sudah seharusnya warga dan media Malaysia tidak lagi menggunakannya. Apa susahnya menyempurnakan kata itu dengan tambahan beberapa huruf saja menjadi Indonesia. Ataukah kita demikian pelit walau dengan sedekah dengan beberapa huruf?


Peran Media

Tidak diragukan bahwa media informasi; cetak dan televisi memberi sumbangsi besar dalam proses membangun nilai-nilai ‘Rasa Sayange’ pada setiap individu. Bila pemerintah Malaysia memiliki keinginan baik untuk itu, maka sebaiknya media diberi keleluasaan bahkan arahan untuk melakukannya. Inilah salah satu masalah yang perlu dibicarakan kedua belah pihak, sehingga antipati terhadap negara serumpun tidak semakin berkembang dan menguat. Apalagi memunculkan issu kembali ‘Ganyang Malaysia’, ini sudah terlalu jauh dari nilai-nilai ‘Rasa Sayange’ dan menafikan eksistensi negara serumpun.


Indonesia juga perlu menciptakan kesan bahwa kemajuan ekonomi, pendidikan dan teknologi yang dicapai Malaysia, apalagi keberhasilan negara ini mengirim salah satu putra terbaiknya turut serta dalam misi luar angkasa, adalah juga kebanggaan sebagai warga negara serumpun. Keberhasilan itu juga mulai membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi negara tetangga kita ketinggalan jauh dengan negara maju lainnya. Dan kemajuan yang dicapai Malaysia, khususnya dalam bidang ekonomi dan keberhasilannya mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran adalah sukses yang layak diadopsi dan ditiru oleh Indonesia.


Semoga berbagai masalah yang terjadi antara negara kita, Indonesia dan Malaysia tidak semakin berlarut-larut dan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Apalagi sebagai negara serumpun yang selayaknya mengedepankan prinsip saling menghormati dan saling menghargai.


(Catatan perjalanan saat berkunjung ke Malaysia pada 29 September 2007)


Masih ada saja yang tersisa dan layak diberitakan terkait dengan Mbah Surip, walau ia telah kembali ke alam baqa. Berita itu antara lain adalah warisan royalty dari sejumlah lagu karya si Mbah yang berasal dari RBT dan penjualan CD dan kaset yang telah diterima oleh pihak keluarga sebagai ahli waris walau tidak sesuai dengan jumlah yang terdengar selama ini. Adapun berita pahitnya diawali dari penarikan kembali rumah dan mobil si Mbah oleh pihak manajemen kampung artis yang selama ini membantu artis-artis yang sedang “naik daun ” dengan alasan kontrak yang ditandatangani pada 1 Juli 2009 tidak heppy ending, alias tidak berakhir hingga 3 tahun kedepan sesuai kesepakatan. Karena, ya itu tadi, Mbah Surip keburu kembali ke pangkuan Penciptanya. Sangat disayangkan, karena dalam butir perjanjian tersebut point ini tidak dimasukkan.

Yang bikin tambah miris adalah ketika asumsi perolehan royalty yang akan diterima Mbah Surip mulai mengemuka dan dilansir oleh banyak media cetak dan elektronik yang konon mencapai angka 4,5 milyar. Bahkan ketika dikatakan kepadanya, “Mbah Surip mendapat royalti ringbacktone Rp 4,5 miliar.” Dengan tawa khasnya ia menjawab, ”Ha-ha-ha, aku kaya juga rupanya,” walau dia tidak pernah tahu di mana kekayaannya itu berada. Walau bisa jadi Mbah Surip menganggap berita tersebut hanya untuk menyenangkan hatinya saja sebagaimana yang selama ini dilakukannya kepada kawan-kawan dekatnya.


Lalu darimana asumsi 4,5 milyar itu muncul hingga diyakini oleh banyak pihak bahwa Mbah Surip adalah seniman yang jadi milyarder dadakan? Inilah juga yang menjadi pertanyaan banyak orang. Namun Chief Executive Officer Falcon Pictures HB Naveen menjelaskan, “Untuk RBT, Mbah Surip mendapat tujuh persen dari total pendapatan bersih yang diterima Falcon, sebesar Rp 990 juta,” katanya dalam perbincangan dengan HU Kompas, Tabloid Nova, dan Kompas.com, di Palmerah Selatan, Jakarta, Selasa (18/8) malam.


Namun demikian, pihak keluarga dan penggemar Mbah Surip tidak perlu berkecil hati karena sampai saat ini lagu-lagu laris si Mbah masih banyak yang unduh sebagai RBT, kaset dan CD pun mungkin masih terus laku terjual. Itu berarti bahwa pihak ahli waris si Mbah masih akan tetap menerima royalty penjualan dari semua itu. Ditambah lagi adanya berita bahwa Bos Arion Grup, Murphy Hutagalung berminat untuk mengoleksi pernak-pernik Mbah Surip; topi reggae dan properti kesayangannya seperti kaos warna warni dan gitar spanyol. Peminat lain yakni Ody Mulya, Produser Maxima yang mengemukakan bahwa sejumlah kawan pengusaha sudah bisik-bisik menyatakan berminat membeli dan mengoleksi atribut pelantun lagu Tak Gendong tersebut. “Terutama topi pintal warna-warninya itu lho, reggae banget. Banyak kawan saya yang juga pengusaha bilang, berminat membeli. Bahkan, ada yang bilang harga semiliar juga oke, sambil tertawa ha, ha, ha… “ kata pemilik Maxima ini.


Kita semua akhirnya jadi tahu berapa sesungguhnya royalty yang diterima oleh Mbah Surip dari lagu-lagu laris ciptaannya. Yang selama ini kita ketahui mencapai angka milyaran, ternyata adalah angka fiktif yang tak seorang pun tahu siapa yang pertama kali yang memunculkannya. Dan faktanya, ya sejumlah angka diatas sesuai paparan Chief Executive Officer Falcon Pictures HB Naveen. Apakah kalkulasi dan royalty tersebut sebenarnya demikian? Wallahu a’lam

Miss Universe Laksana Sapi Perah?

Yang masih hangat diperbincangkan di tanah air adalah kesertaan dua putri Indonesia di dua kontes berbeda. Pertama, kontes bikini yang diadakan di China yang diikuti oleh Yoke Paramita Djati Walujo, gadis asal Bali dan tampil atas nama Bali. Kedua, kontes Ratu Kecantikan, atau biasa dikenal dengan Miss Universe, diikuti oleh Zivanna Letisha Siregar, gadis asal Jakarta mewakili Indonesia setelah tampil sebagai jawara di pemilihan Putri Indonesia 2008 lalu.

Keikutesertaan dua putri asal Indonesia di dua ajang berbeda itu memunculkan polemik dan pro-kontra berkepanjangan di tengah masyarakat, yang bermula dari keikutsertaan Indonesia secara resmi di ajang tersebut sampai saat ini, Polemik tersebut bahkan merambah hingga blog Kompasiana. Bahkan salah satu postingan terkait kontes tersebut masuk dalam kategori terpopuler selama beberapa pekan terakhir.


Pada kolom Opini di Harian Republika yang terbit hari ini, Senin (24/8), Dr. Adian Husaini menuliskan sebagian dari catatan memoar “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” karya DR. Daoed Yoesoef yang salah satunya terkait dengan kontes pemilihan ratu kecantikan sejagat. Terlepas dari berbagai kontroversi yang dimunculkan oleh sang Doktor lulusan Sorbonne Prancis (1972) dan sebagai ketua Dewan Direktus CSIS (1972-1998) ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) periode (1977-1982), beliau secara khusus memiliki pandangan sangat berbeda tentang berbagai kontes atau pemilihan ratu kecantikan, baik yang berskala Internasional, nasional atau lokal kedaerahan. Sebuah cara pandang yang layak dijadikan bahan pemikiran ditengah kontroversi yang belum berakhir hingga saat ini, termasuk pro-kontra pada tulisan: “Apa Salahnya Zivanna Berbikini”.


Berikut penggalan tulisan beliau terkait kontes-kontesan itu, “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang, disamping pelecehan terhadap keperempuanan, tujuan dari kegiatan ini tak lain adalah meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetik, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan dengan mengekploitasi kecantikan yang sekaligus menjadi kelemahan perempuan, insting primitif dan anfsu elementer laki-laki serta kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah.”


Lebih jauh, Dr. Daoed Yoesoef menulis tentang kontes dan pemilihan ratu sejagat yang dianggap sebagian orang yang pro untuk manfaat pariwisata dan mengharumkan nama bangsa dengan kalimat berikut, “Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan Negara.”


Dr. Daoed Yoesoef juga tidak mengingkari bahwa seorang perempuan tentu boleh tampil cantik, namun beliau mengingatkan tiga hal: Pertama, kecantikan jangan diumbar, dibiarkan untuk dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan dirinya sendiri, Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit. Ketiga, kecantikan yang dipupuk lalu dijadikan standar personalitas berpotensi menjadi liang kubur bagi perempau bersangkutan.”


Dr. Daoed Yoesoef juga menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan juga menonjolkan sisi intelektualitas dan keberanian perempuan tersebut dengan mengatakan, “Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya, atau keberaniannya yang mengagumkan.”


Tentang para peserta yang kemudian tampil dengan baju renang lalu berlenggak-lenggok di atas catwalk, ia berkata, “Namun tampik berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian keperempuanannya yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang.”


Akhirnya beliau menyamakan para peserta kontes kecantikan itu dengan sapi perah, “Setelah dibersihkan lalu diukur badan, termasuk buah dadanya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”


Di akhir opini tulisan Dr.Adian Husaini tersebut, beliau menulis kalimat pamungkas Dr. Daoed Yoesoef sebagai jalan keluar dari polemic ini, “Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengekploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya.kalau perempuan sendiri bergairah melakukan perbuatan yang tercela itu karena kepentingan materi sesaat tanpa mempedulikan masa depan anak-anak, ya mau bilang apa lagi!”.


Saya kira tulisan ini bisa mewakili argumentasi kita dalam memandang persoalan kontes Miss Universe yang sesungguhnya hanya merendahkan kehormatan dan martabat seorang wanita. Sangat jauh dari kemungkinan mengharumkan nama bangsa. Bahkan sangat tragis, ternyata para pesertanya bak ’sapi perah’ yang dimanfaatkan demi keuntungan berbagai pihak. Masihkah ada alasan lain, wahai kaum yang berfikir???