Takkala mengamati antusiasme orang-orang yang menanti detik-detik pergantian tahun, maka saya menemukan beberapa titik persamaan dengan antusiasme orang-orang berpuasa yang sedang menanti terdengarnya bedug atau azan magrib, sepasang calon suami istri yang ingin menyelesaikan ikrar akad nikah, seorang suami yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dan sesaat lagi bertemu istrinya yang sekian lama ia tinggalkan, atau sepasang muda-muda yang sedang kasmaran dan sesaat lagi akan bertemu di tempat yang mereka sepakati.
Seperti itulah mungkin suasana jiwa orang-orang yang dengan rela menghabiskan malamnya di penghujung akhir tahun tanpa tidur, meninggalkan rumahnya menuju tempat hiburan yang tersedia di berbagai sudut Mulai dari Taman Monas, TMII, Ancol, dan berbagai tempat lainnya demi menyambut detik-detik awal tahun baru. Sementara mereka yang tidak bisa kemana-mana, hanya dapat menyalakan petasan atau kembang api sambil meniup terompet yang sudah disediakan sejak pagi hari. Dan bagi rakyat kecil yang tidak punya anggaran merayakan kemeriahan itu, maka mereka hanya dapat duduk manis di depan layar kaca menyaksikan perayaan tahun baru yang digelar seluruh stasiun televise. Sungguh tradisi menghebohkan yang terjadi setiap akhir tahun.
Saya terkadang takjub dengan rasa takjub orang-orang yang menanti detik-detik pergantian tahun itu terjadi. Mereka laksana akan merasakan suasana jiwa yang berbeda takkala jarum pendek berada pada angka 12 dan jarum panjang secara perlahan memasuki detik-detik angka 1. Apakah memang muncul perasaan baru; kegembiraan atau suka cita saat pergantian tahun itu terjadi?
Saya kembali mengenang kisah Wahsyi sesaat setelah ia berhasil membunuh Hamzah dengan lemparan tombaknya. Saat itu berharap dengan sangat akan merasakan kebahagiaan dan suka cita tak terperi bila mampu menuntaskan dendam Hindun dengan membunuh Hamzah. Namun apa yang terjadi setelah Hamzah roboh ke tanah dan Wahsyi berhasil merebut kebebasan dan kemerdekaan dirinya sebagai imbalan kematian Hamzah? Harap dan asa yang selama ini membuncah dalam jiwanya untuk merasakan kebahagiaan setelah merebut kemerdekaannya ternyata tidak pernah muncul. Bukan suka cita yang ia temukan, tapi justru duka dan lara ia gapai. Laksana menggantang asap mengukur langit.
Pagi yang kita temukan hari ini sama saja dengan pagi kemarin, sebagaimana langit yang kita saksikan kemarin tiada beda dengan langit yang kita pandang pada tahun baru ini. Lalu bagaimana seharusnya kita mengapresiasi datangnya pergantian tahun, Hijriah atau Masehi agar penyikapan itu memberi nilai positif bagi kita? Kita tidak ingin tradisi tahunan ini hanya menjadi ritualitas belaka tanpa mampu memberi nilai kebaikan sedikitpun. Esensinya sungguh terletak pada kwalitas karya dan amal, disertai introspeksi atau atas apa yang telah kita lakukan selama ini. Karena itulah Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila amal kita hari ini lebih baik daripada kemarin, maka itulah orang yang beruntung, dan apabila amal hari ini lebih buruk daripada kemarin, itulah orang yang celaka, dan bila amal hari ini sama saja dengan hari kemarin, maka itu sama saja dengan kerugian.”
Seperti itulah mungkin suasana jiwa orang-orang yang dengan rela menghabiskan malamnya di penghujung akhir tahun tanpa tidur, meninggalkan rumahnya menuju tempat hiburan yang tersedia di berbagai sudut Mulai dari Taman Monas, TMII, Ancol, dan berbagai tempat lainnya demi menyambut detik-detik awal tahun baru. Sementara mereka yang tidak bisa kemana-mana, hanya dapat menyalakan petasan atau kembang api sambil meniup terompet yang sudah disediakan sejak pagi hari. Dan bagi rakyat kecil yang tidak punya anggaran merayakan kemeriahan itu, maka mereka hanya dapat duduk manis di depan layar kaca menyaksikan perayaan tahun baru yang digelar seluruh stasiun televise. Sungguh tradisi menghebohkan yang terjadi setiap akhir tahun.
Saya terkadang takjub dengan rasa takjub orang-orang yang menanti detik-detik pergantian tahun itu terjadi. Mereka laksana akan merasakan suasana jiwa yang berbeda takkala jarum pendek berada pada angka 12 dan jarum panjang secara perlahan memasuki detik-detik angka 1. Apakah memang muncul perasaan baru; kegembiraan atau suka cita saat pergantian tahun itu terjadi?
Saya kembali mengenang kisah Wahsyi sesaat setelah ia berhasil membunuh Hamzah dengan lemparan tombaknya. Saat itu berharap dengan sangat akan merasakan kebahagiaan dan suka cita tak terperi bila mampu menuntaskan dendam Hindun dengan membunuh Hamzah. Namun apa yang terjadi setelah Hamzah roboh ke tanah dan Wahsyi berhasil merebut kebebasan dan kemerdekaan dirinya sebagai imbalan kematian Hamzah? Harap dan asa yang selama ini membuncah dalam jiwanya untuk merasakan kebahagiaan setelah merebut kemerdekaannya ternyata tidak pernah muncul. Bukan suka cita yang ia temukan, tapi justru duka dan lara ia gapai. Laksana menggantang asap mengukur langit.
Pagi yang kita temukan hari ini sama saja dengan pagi kemarin, sebagaimana langit yang kita saksikan kemarin tiada beda dengan langit yang kita pandang pada tahun baru ini. Lalu bagaimana seharusnya kita mengapresiasi datangnya pergantian tahun, Hijriah atau Masehi agar penyikapan itu memberi nilai positif bagi kita? Kita tidak ingin tradisi tahunan ini hanya menjadi ritualitas belaka tanpa mampu memberi nilai kebaikan sedikitpun. Esensinya sungguh terletak pada kwalitas karya dan amal, disertai introspeksi atau atas apa yang telah kita lakukan selama ini. Karena itulah Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila amal kita hari ini lebih baik daripada kemarin, maka itulah orang yang beruntung, dan apabila amal hari ini lebih buruk daripada kemarin, itulah orang yang celaka, dan bila amal hari ini sama saja dengan hari kemarin, maka itu sama saja dengan kerugian.”