Rabu, 14 Oktober 2009

Mengurai Akar Konflik Warisan, Indonesia-Malaysia

Konflik dua Negara serumpun mulai terjadi sejak era pemerintahan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Abdul Rahman pada tahun 1962-1966. Bermula ketika Malaysia ingin menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu. Tentu saja keinginan itu ditentang habis oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Britania. Dari situlah konfrontasi bermula hingga menciptakan demonstrasi besar-besaran anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Bahkan dalam satu kesempatan para demonstran tersebut menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman dan memaksanya untuk menginjak Lambang Negara tersebut.

Apa yang kemudian dilakukan oleh Tunku Abdul Rahman meledakkan amarah Soekarno yang mengutuk keras tindakan itu yang akhirnya mengelorakan “Ganyang Malaysia” di seantero negeri. Peperangan akhirnya pecah antara Indonesia dengan Malaysia yang dibantu Australia, New Zealand, dan Inggris. Konfrontasi yang menewaskan sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) akhirnya diselesaikan melalui penandatanganan perjanjian damai pada 11 Agustus 1966, setelah diadakannya Konfrensi Bangkok pada 28 Mei 1966.


Empat puluh tiga (43) tahun setelah masa konfrontasi berakhir damai di meja perundingan, kini bara api konflik tersebut tampak membara kembali, khususnya beberapa tahun terakhir ini. Berawal pada 17 Desember 2002, ketika Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) memutuskan bahwa Malaysia mempunyai hak dan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan di Laut Sulawesi yang berada di perbatasan antara Kalimantan Timur dengan Sabah-Malaysia. Walau Mahkamah Internasional memiliki alasan kuat memenangkan Malaysia dalam kasus ini, namun kekalahan tersebut tetap saja meninggalkan luka di hati rakyat Indonesia.


Munculnya berbagai peristiwa memilukan yang dialami banyak TKI di Malaysia, kian maraknya klaim Negara tersebut terhadap kekayaan Intelektual, budaya dan seni Indonesia, adanya upaya aneksasi terhadap pulau ambalat dan pelecahan terhadap lagu kebangsaan Indonesia tampaknya semakin memerahkan bara api tersebut setelah sekian lama terpendam debu. Sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan Indonesia-Malaysia saat ini kembali memasuki memasuki titik kritis. Dan kisruh tersebut juga merambah Blog Kompasiana, menjadi tempat melampiaskan uneg-uneg, amarah dan antipati dalam bentuk hujatan, makian, dan berbagai kalimat yang bisa membuat kuping semakin memerah.


Bila ditilik dari rentetan konflik tiada henti Indonesia-Malaysia yang laksana warisan dua Negara serumpun, sepertinya akan terus terjadi bila akar konflik itu sendiri tidak ditebas habis. Bahkan akan jadi warisan turun temurun bila kedua Negara tidak memiliki formula tepat dalam memetakan dan mengatasi berbagai kasus yang menjadi pemicu konflik. Adapun reaksi dan respon rakyat kedua negara, apapun bentuknya, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Bahkan hanya menambah runyam dan menghabiskan energi walau atas nama nasionalisme sekalipun.


AH Mahally, Peneliti pada Centre for International Relations Studies, Universitas Indonesia, memetakan 3 masalah besar yang selama ini menjadi sumber konflik dan hambatan serius hubungan kedua negara:


Pertama, persoalan Tenaga Kerja Indonesia ( TKI).

Siapapun tahu bahwa upah kerja di Malaysia lebih tinggi sehingga sangat banyak warga negara Indonesia mengadu nasib sebagai TKI. Jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 3 juta orang. Yang resmi sekitar 1,5 juta. Hebohnya, jumlah ini ternyata hampir 10 persen jumlah penduduk Malaysia. Ditambah Keluhan yang sering terdengar di kalangan rakyat Malaysia, bahwa adalah TKI pria sering terlibat dalam aksi-aksi kriminalitas di negeri mereka.


Pada akar masalah ini, pemerintah SBY wajib melobi pemerintah dan departemen terkait di Malaysia untuk memberikan proteksi tambahan kepada para TKI. Langkah ini tetap harus dilakukan karena pemerintah RI sendiri belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. Jakarta perlu merenungi betapa repotnya Malaysia mengurus ratusan ribu TKI ilegal. Kendati pemerintah Malaysia sendiri tentu perlu berterima kasih karena berbagai gedung tinggi dan megah merupakan hasil karya warga Indonesia. Artinya bahwa, kedua negara serumpun ini baik Malaysia maupun Indonesia sesungguhnya masih saling membutuhkan.


Kedua, territorial overlapping claims (tumpang-tindih klaim perbatasan).

Persoalan inilah yang paling memicu emosi kedua bangsa. Setelah kasus Sipadan-Ligitan, lalu menyusul Ambalat dan teranyar adalah klaim atas pulau Jamur akan menjadi bara api paling potensial membakar kedua negara. Bahkan dalam kasus Ambalat (Februari 2005), pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu nyaris menyeret konflik bersenjata kedua negara, karena Kuala Lumpur dianggap hendak mencaplok Ambalat, pulau seluas Propinsi Jawa Barat yang ternyata memiliki kandungan minyak luar biasa.


Sejumlah upaya mesti dilakukan pemerintah antara lain adalah, mulai mendata kembali sekitar 9.634 pulau yang belum memiliki nama dari 17.504 pulau yang ada, sekaligus melakukan pengukuran dan pemetaan batas wilayah perbatasan, khususnya yang kerap menjadi titik persinggungan antara kedaulatan nasional dan negara tetangga, sekaligus menjaga batas keamanan wilayah dan menciptakan sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau tersebut melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru dan sebagainya.


Ketiga, illegal logging atau pembalakan liar.

Drama penggundulan hutan di Indonesia sudah lama terjadi. Namun, kapan para sutradara dan pemainnya akan dihukum seberat-beratnya, masih menunggu ‘keberanian’ para penegak hukum: Polri, Jaksa, Hakim.


Ahli ekonomi kehutanan dari Department for International Development (DFID), Inggris, David W Brown, mencatat kerugian Indonesia sebesar 5,7 miliar dolar AS (Rp 54,75 triliun) per tahun akibat illegal logging. Yang gawat, sudah 70 persen hutan perawan di Tanah Air dikabarkan telah amblas: dijarah, ditebang, dibakar, digunduli atau dialihfungsikan.


Ke 3 hal inilah yang dianggap masalah mendasar yang kerap memicu munculnya konflik baru. Adapun yang terakhir adalah:


Klaim atas kekayaan seni dan Budaya.

Pengakuan atas kekayaan seni dan budaya Indonesia sudah sering dilakukan Malaysia, bahkan mungkin sudah puluhan kali. Tidak ada rasa bersalah apalagi berdosa sedikit pun saat mengakui, bahkan mempatenkan kekayaan seni dan budaya milik negeri ini. Berbagai alasan klise sudah dikemukakan untuk mendapatkan justifikasi dari kejahatan plagiat yang dilakukan.


Agar masalah ini tidak terulang kembali dimasa yang akan datang, maka pemerintah seharusnya lebih protektif terhadap warisan budaya milik negeri ini, baik dengan cara mendata atau dengan mempatenkannya, lalu diberikan payung hukum tentang warisan budaya sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI).


Setiap kita mafhum, bahwa pemerintah RI hingga saat ini belum mampu mengatasi berbagai persoalan tersebut dengan tepat, apalagi membungkam pelakunya agar jera dan tidak mengulanginya kembali. Tapi sejumlah formula di atas mungkin bisa dilakukan – semoga pemerintah memiliki formula terbaik- agar konflik ini tidak menjadi warisan turun temurun bagi setiap generasi baru bangsa ini! Merdeka!!!


Tidak Sekedar Dikitik-kitik, Tapi Ditinju Malaysia!

Saya tergelitik juga membaca tulisan Kang Pepih Nugraha yang dia buat secara bersambung hingga postingan paling anyar, “Jangan-jangan kita butuh Malaysia” (Dikitik-kitik Malaysia,part 4), menanggapi serunya perdebatan yang ada pada setiap tulisan dan komentar terkait negeri Jiran ini. Perdebatan yang terkadang disertai sumpah serapah, hujatan dan makian terhadap Negara tetangga kita, Malaysia. Walau kata-kata tersebut, sebagaimana kata penulisnya, takkan melukai apalagi membuat lawan jatuh terkapar. Yang muncul hanya perasaan jengkel alias mangkel bin kesel!

Tapi menurut saya, penggunaan kata ‘dikitik-kitik’ Malaysia itu kurang tepat. Kalau dikitik-kitik kawan, mungkin takkan membuat kira marah karena bisa saja dia bercanda. Apalagi memang tidak menyakiti dan melukai secara fisik. Kalau kesel, mungkin ya. Karena itu menurut saya, kalimat yang cocok sebagai padanan analogi dari apa yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia dengan menggunakan jenis pukulan dalam olahraga tinju.


1- Hilangnya pulau Sipadan-Ligitan adalah sebuah uppercut Malaysia, yaitu pukulan pendek yang dilontarkan lawan dari bawah-keatas yang sasarannya adalah perut, ulu hati dan dagu sebagai bagian paling rawan dan paling diincar oleh lawan. Bila pukulan ini mengenai sasaran dengan tepat, bisa dipastikan lawan jatuh tersungkur, KO, walau pukulannya mungkin tidak sedahsyat si Leher Beton, Mike Tyson. Inilah pukulan paling telak yang dilancarkan Malaysia hingga mereka mampu menang, merebut Sipadan-Ligitan di meja perundingan. Beberapa kasus yang bisa dimasukkan dalam kategori pukulan uppercut yang dilancarkan Malaysia, antara lain adalah, penganiayaan para TKI, atau ketika menjiplak lagu Indonesia, Terang Bulan Terang Dikali sebagai lagu kebangsaan yang diklaim sebagai lagu rakyat Melayu.


2- Adapun klaim-klaim kepemilikan terhadap sejumlah kekayaan budaya dan seni milik Indonesia yang sampai saat ini mereka lakukan, saya analogikan seperti pukulan Longhook atau swing, atau pukulan yang dilontarkan dari jarak jauh yang biasanya untuk mengganggu konsentrasi lawan, dan sasarannya adalah kepala. Pukulan inilah yang paling sering dilontarkan oleh Malaysia. Setelah melancarkan longhook, mereka punya kesempatan untuk mundur mengatur strategi, dan maju kembali melontarkan pukulan lain yang lebih variatif ketika lawannya tampak lengah.


3- Adapun pelecehan terhadap lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, saya analogikan seperti pukulan stright yang sasarannya adalah kepala. Bila pertahanan tidak kuat, maka pukulan ini juga bisa menjatuhkan lawan.


Lalu bagaimana dengan Indonesia, pukulan apa saja yang telah dilontarkan? Dalam hal ini saya belum melihat Indonesia melancarkan pukulan bertenaga. Memang sesekali ada pukulan uppercut atau longhook yang dilontarkan penuh tenaga disertai semangat dan terkadang amarah meluap-luap karena sudah beberapa kali kena pukul. Namun ternyata Malaysia keburu mundur, mengelak dan menghindar sehingga berbagai pukulan itu hanya menerpa angin. Bahkan sambil mundur masih sempat-sempatnya menari-nari bikin panas hati. Seperti yang kerap dilakukan oleh Nassem Hamed terhadap lawan-lawannya.


Indonesia hingga saat ini hanya menampilan gaya defensif dengan double cover tetap menutupi kepala agar tidak kena pukul. Namun lama-kelamaan pertahanan kendor dan lemah sehingga dimanfaatkan oleh Malaysia untuk melancarkan pukulannya, syukur-syukur masuk dan dapat point, kalau tidak, yah ngga apa-apa juga.


Saya kira analogi di atas ring tinju lebih cocok disepadankan dengan apa yang telah dilakukan Malaysia terhadap Indonesia selama ini. Sejumlah pukulan telah dilontarkan yang tidak hanya bikin hati kian dongkol, tapi wajah membiru, hidung dan pelipis berdarah-darah, dan sekujur tubuh jadi meriang. Jadi menurut saya, memang tidak sekedar dikitik-kitik Malaysia!


Mewaspadai Munculnya Rezim Otoriter

Satu hal yang menjadi kekhawatiran banyak kalangan adalah munculnya rezim otoriter pada masa kepemimpinan SBY jilid 2 pada periode 2009-2014. Kekhawatiran ini cukup beralasan bila melihat perkembangan politik tanah air dewasa ini yang bergulir sangat cepat pasca Pilpres lalu yang dimenangkan oleh pasangan SBY-Boediono. Diawali ketika banyaknya dukungan parpol level menengah khususnya Parpol beriedologi dan berbasis massa Islam, ditambah kemungkinan merapatnya parpol besar, Golkar dan PDIP yang kalah dalam pilpres lalu, kemudian sepakat membangun koalisi besar yang sebelumnnya telah dibentuk oleh SBY.

Gejala merapatnya PDIP ke kubu koalisi besar itu terlihat ketika elit Demokrat yang diwakili Hadi Utormo selaku ketua partai berkunjung ke Teuku Umar, kediaman Ibu Megawati yang saat itu turut menerima kedatangan tamunya didampingi sang suami, Taufik Kemas dan Sekjer PDIP, Pramono Anung. Walau Sekjen PDIP ini membantah bahwa kunjungan tersebut membicarakan tentang agenda koalisi, namun kemungkinan terjadinya koalisi bersama tidak bisa dinafikan begitu saja. Apalagi bila berkaca pada pengalaman oposisi 5 tahun PDIP yang tidak meninggalkan catatan berkesan dan juga gagal merebut simpati pemilih dalam jumlah lebih besar. Ditambah lagi bahwa PDIP sedang mengincar posisi Ketua MPR yang bakal diisi oleh Taufik Kiemas, dan target ini akan berjalan mulus bila PDIP ‘berdamai’ dengan Demokrat sebagai jawara Pemilu 2009.


Apa yang diharapkan pada Golkar agar berperan sebagai oposisi setelah JK kalah telak dalam Pilpres lalu, juga sangat kecil. Sudah banyak alasan yang dikemukan sejumlah elit partai ini; tidak pengalaman sebagai oposisi lah, sistim oposisi itu tidak tepat dalam sistim presidensial, membangun bangsa tidak harus berada pada kubu oposisi lah, dan lain sebagainya. Ungkapan ini menjelaskan bahwa, Golkar kemungkinan besar akan bergabung dalam koalisi besar mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Apalagi Partai ini sedang mengejar waktu Musyawarah Nasional untuk pergantian ketua umumnya, sekaligus memutuskan sikap apakah berkoalisi atau beroposisi.


Yang tidak terlalu nyaring terdengar adalah sikap Gerindrah dan Hanura. Walau pun dari sejumlah statemen elit kedua partai tersebut menyatakan diri akan mengambil jarak sebagai oposisi dan tetap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Namun, kalaupun kedua partai baru ini memerankannya, maka peran mereka sebagai ’sparring partner’ juga tidak akan kuat. Karena SDM dan pengalamaan yang dimiliki kedua partai ini akan sulit menandingi kekuatan partai pemerintah. Berbeda dengan Golkar dan PDIP yang memiliki pemilih fanatik dan pengalaman panjang mereka di pemerintahan.


Gejala tidak akan munculnya oposisi yang kuat sebagai ’sparring Parner’ pemerintah inilah yang menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Karena bila semua partai politik memosisikan diri mendukung pemerintah dan tidak satu pun beroposisi, hal itu akan berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia (Kompas, 25/8). “Potensi dampak buruk yang paling meresahkan, pemerintahan ke depan akan dengan mudah terperosok menjadi rezim tanpa kontrol, rezim otoriter.” Tulis Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara. (Kompas, 28/8)


Membangun tradisi oposisi sebenarnya sudah dilakukan oleh PDIP sejak 5 tahun lalu. Hanya saja, peran oposisi yang dimainkan tidak meninggalkan catatan berkesan dan dinggap gagal mengontrol jalannya pemerintahan. Tradisi ini pun sesungguhnya dapat dilanjutkan bila saja partai politik yang kalah dalam pilpres lalu secara otomatis menempati kubu oposisi tanpa melakukan deal-deal politik atau mengkalkulasi untung rugi bila beroposisi, anggaplah peran itu sebagai mandat dari rakyat.


Lalu, bagaimanakah seharusnya setiap parpol mitra koalisi bersikap terhadap berbagai kebijakan yang akan diambil pemerintah? Apakah harus selalu setuju dengan berbagai kebijakan yang diambil, ataukah sekali-sekali melakukan kritik tajam dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah?


Adalah wajar bila setiap mitra koalisi mendukung penuh setiap kebijakan yang diambil pemerintah, dengan catatan, bila kebijakan tersebut berpihak dan pro rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang akan diambil hendaknya dengan sepengetahuan dan kesepakatan setiap mitra koalisi. Sehingga tidak ada kritik tajam apalagi penolakan terhadap kebijakan tersebut dari fraksi partai pendukung setelah dieksekusi dan dijalankan. Sebagaimana yang terjadi pada periode pemerintahan SBY sebelumnya, dimana ketidakkompakan dan perselisihan tajam terjadi antara sesama mitra koalisi. Misalnya Golkar dan PKS.


Kita tunggu saja, apakah ketiadaan partai oposisi yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan SBY selama 5 tahun kedepan, serta hilangnya sikap kritis parpol pendukung akan menyeret bangsa ini tersungkur dibawah kaki rezim otoriter?! Wallahu a’lam.


Berkhianat, Ciri Khas Politisi Kita!

Kita masih saja disuguhi penampilan tidak becus para politisi tanah air yang semakin menguatkan imej di tengah masyarakat bahwa mereka sesungguhnya masih sangat butuh pendidikan etika, moral dan nilai-nilai luhur. Bukan sekedar kemampuan intelektual untuk dapat dikatakan layak tampil sebagai pemimpin bangsa. Sangat rendahnya nilai-nilai moral dan etika pada diri politisi kita, apakah yang duduk sebagai anggota legislative di DPR hingga DPRd kota, atau sebagai pengurus sebuah partai, tidak hanya menimbulkan kisruh politik tapi juga semakin menjatuhkan nama, kredibilitas dan reputasinya sebagai politisi dan pemimpin yang seharusnya menjadi teladan di tengah masyarakat.

Mari kita lihat beberapa contoh bentuk pengkhianatan yang kerap dilakukan oleh para politisi kita ini:


1- Banyaknya politisi yang terlibat dalam kasus korupsi adalah bukti nyata betapa ciri khas sebagai pengkhianat amanah rakyat sangat lekat pada diri mereka. Bahkan Hasil survei Transparency International Indonesia (2006) tentang persepsi masyarakat menjelaskan, bahwa DPR dan parpol merupakan lembaga terkorup. Walau, hasil survei ini menghasilkan pro-kontra. Namun, bila kita perhatikan nama-nama yang akhirnya dijebloskan KPK ke dalam hotel Prodeo karena kasus korupsi, mayoritas berasal dari lembaga ini, yang bahkan kerap dilakukan secara berjama’ah.


2- Entah sudah berapa kali pula kita menyaksikan ruang sidang anggota DPR yang sepi nyaris kosong, atau kadang tidak memenuhi kuorum. Tindakan bolos dalam setiap sidang, baik dalam rapat paripurna, komisi, maupun pansus otomatis mengganggu jalannya proses-proses politik maupun legislasi. Akibatnya proses-proses tersebut menjadi lamban sehingga kebijakan yang seharusnya diambil cepat pun molor atau tertunda. Kebiasaan seperti ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat yang memilih mereka saat pemilu lalu.


3- Kita juga sering mendengar anggota dewan yang terhormat berangkat ke luar negeri dengan alasan studi banding. Namun, pada kenyataannya mereka memanfaatkan kesempatan tersebut dan fasilitas yang diberikan untuk jalan-jalan dan pelesir di negara tujuan. Prilaku seperti ini pun sungguh sebuah pelecehan dan penyalahgunaan jabatan dan amanah rakyat. Coba bayangkan, berapa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai ongkos keluar negeri sementara hasilnya pun tidak sesuai harapan, bahkan yang paling dominan adalah pelesirannya itu.


4- Tak terhitung pula jumlah politisi kita yang mengakhiri karir politiknya dengan cara memalukan karena skandal seks dengan wanita selingkuhannya. Menurut Syafi’I Ma’arif, karakter politisi seperti ini tak lebih seperti kerak. Kerak nasi, yang keras-keras, tapi disiram dengan air sedikit, sudah menjadi lembek. Karena mereka hanya mengabdi kepada tiga ‘ta’ (tahta, harta dan wanita) (Republika, 27/5/2009)


5- Upaya pengkhianatan pun bisa dilakukan terhadap kawan koalisi. Yang paling anyar adalah pernyataan Mubarok seusai pertemuan elit PD dan PDI-P di Teuku Umar, bahwa kedekatan tersebut adalah permainan politik semata untuk menekan mitra koalisi. Aneh, pertemuan elit 2 partai besar dianggap sebagai lolucon dan permainan belaka, dan juga sulit diterima akal bila ucapan tersebut karena keseleo lidah. Tidakkah politisi kita memiliki nalar dan intelektual yang lumayan bagus sehingga dapat berfikir masak-masak apakah kalimat tersebut layak dilontarkan atau tidak! Pernytataan itu pun bila benar adanya, hanya akan membuat kita semakin heran, bahwa ternyata hiruk-pikuk politik di negeri ini adalah permainan palsu belaka!


Jadi, jangankan kepada rakyat amanah dan tanggung jawab diabaikan dan dikhianati dengan begitu mudahnya, kepada mitra koalisi pun bukan persoalan yang sulit untuk dilakukan, pada saat para politisi kita seharusnya mempunya komitmen bersama untuk saling menghargai dan menghormati, agar kita sebagai rakya pun dapat belajar bagaimana berpolitik yang santun dan ber-etika.


Memang sangat miris menyaksikan wakil rakyat kita dengan tipikal dan karakter politik seperti itu. Tanpa moral dan etika yang hanya akan membawa negeri ini kepada situasi yang semakin sulit. Sementara kita, sebagai rakyat hanya bisa gigit jari menyesali pilihan kita dahulu tanpa mampu berbuat apa-apa! Atau, adakah yang bisa kita lakukan, kawan?!